Seoul, 12 Tahun Kemudian.
Seorang gadis tengah berdiri menghadap ke pintu kaca kamarnya yang menghadap langsung ke arah balkon. Jemarinya terurai untuk menggeser pintu itu lalu menempatkan dirinya untuk berdiri sambil kedua tangan memangku tubuh di pagar pembatas.
Pandangan matanya tenang menatap ke arah pepohonan maple di halaman rumahnya yang menampakkan dedaunan berwarna cokelat kekuningan. Beberapa daun tampak banyak telah berguguran di bawahnya. Angin berembus cukup dingin dan kencang, menerbangkan helaian rambutnya yang panjang sebatas punggung, namun itu semua tak cukup untuk membuatnya beranjak kembali masuk ke kamar.
Matanya tampak tenang mengamati sekitar. Langit pun hanya cerah berawan, tak ada cahaya matahari yang menyinar terang pagi ini. Musim gugur selalu seperti ini, seperti dirinya yang tak bersinar namun juga tak bermuram sendu. Namun, ada kalanya hujan datang membasahi bumi, maka dirinya pun akan seperti itu. Ikut menangis dalam diam. Membatin sampai kapan Ia harus terus di hantui oleh rasa takut akan datangnya hari kematian.
Tetapi, selagi jantung ini berdetak baik-baik saja, semua pasti akan berjalan baik bukan? Ia hanya harus memperteguh kepercayaan, bahwa Ia pun bisa hidup dengan umur panjang seperti yang lainnya.
"Nona Luhan, sebentar lagi waktunya sarapan."
Baiklah, saatnya untuk memakai topeng kaca. Wajah sendunya Ia gantikan dengan wajah berseri. Menyembunyikan ketakutannya sendiri dan memperlihatkan pada dunia raut bercahaya penuh senyuman. Ini Ia lakukan karena tidak ingin membuat semua orang khawatir. Ia tidak ingin di anggap sebagai gadis berpenyakitan.
"Hm, aku akan bersiap dulu. Terimakasih Yuna."
"Baik, nona. Saya permisi dulu."
Luhan beranjak dari balkon menuju kamar mandi. Berendam santai sambil menikmati relaksasi aroma garam mandi favoritnya dengan mata terpejam. Lalu, Ia pun bergegas masuk ke ruang walk in closet miliknya dan mengenakan pakaiannya untuk pergi ke kampus hari ini. Pilihan Luhan jatuh pada dress selutut berwarna putih, dengan stoking hitam, dan jaket parka cream sepanjang paha. Ia membiarkan rambutnya tergerai lalu memakai sepatu boots hitam.
Modis dan tampak manis. Luhan selalu sukses memancarkan aura elegan seorang gadis berkelas.
"Pagi, Ayah." Luhan menghampiri ayahnya dan mencium pipinya.
"Pagi, Ibu." Lalu melakukan hal yang sama pada sang Ibunda.
"Pagi juga sayang. Ayo duduk, kita sarapan." Nara tersenyum menatap anak gadisnya dan menyajikan menu sarapan sehat untuk putrinya.
"Hari ini ada kelas kuliah sampai jam berapa, sayang?." Tanya Jaewook sambil menyeruput kopi hitamnya.
"Hanya sampai jam dua, tetapi aku dan Baekhyun serta Kyungsoo akan mampir ke cafe biasa dulu untuk membahas rapat, ayah."
"Rapat apa? Seperti ayahmu saja yang tiap hari selalu ada rapat bisnis."
Luhan dan Jaewook terkekeh ringan mendengar keluhan Nara, "Rapat untuk membahas acara tahunan kampus, Ibu. Akan diadakan bazar amal selama dua hari. Fakultas Seni boleh bergabung dengan anggota di kelas lain begitupun mahasiswa lainnya. Kami masih bingung apa yang akan dijual saat bazar akhir pekan ini." Luhan meminum air putihnya saat usai menghabiskan menu sarapan.
"Hmm...kalau kalian tidak menemukan sesuatu yang bagus untuk di jual, nanti biar ayah yang bantu. Atau kau mau orang-orang ayah yang menyiapkan keperluan kalian? Kau tahu bahwa kau tidak boleh kelelahan, Luhan."
Luhan menatap ayahnya jengah, "Ayah, aku baik-baik saja. Tidak usah terlalu mencemaskanku. Aku bukan anak kecil lagi!."
"Ya, kau memang bukan anak kecil lagi. Tapi kau permata kami yang paling berharga, sayang. Kami tidak ingin kau kenapa-kenapa.." Nara pun menatap cemas putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Princess [-and her Ice Prince]
Fanfiction"Ketika kita sama-sama bersembunyi di balik topeng kaca." Pernah dengar ada makna yang berbunyi "Cinta itu Sehidup Semati?" Seperti itulah kisah mereka, yang berjuang saling menyemangati setelah mengarungi banyak waktu hanya untuk perjalanan kisah...