2

948 84 1
                                    

Pintu kamar itu sedikit terbuka, membuatku semakin penasaran siapa yang berada di dalam sana.

Ketika mengintip, terlihat tentara Belanda yang kemarin membawaku kesini. Dia sedang duduk di kasurnya dan membaca buku.

Aku tidak sengaja tersandung kaki ku sendiri. Lalu dahi ku terbentur pintu kamar itu dan tersungkur jatuh. Laki-laki jangkung itu pun menyadari keberandaanku. Namun dia terlihat bingung.

"Mati aku" umpatku dalam hati lalu menutup mata erat. Kepala ku sangat pusing akibat beturan yang baru saja terjadi.

"Maaf, Meneer" ucapku lirih, seperti tidak punya semangat untuk berbicara. Padahal yang berada dihadapan ku saat ini adalah seorang Meneer  yang bisa membunuhku kapan saja dia mau.

Aku bangkit tapi setelah itu semua terlihat gelap, tidak ku sadari tubuhku sudah ambruk kembali. Aku memiliki tekanan darah rendah yang membuatku rentan terserang pusing.

***

Aku pingsan selama 2 jam. Aku membuka mataku perlahan, terlihat seseorang dengan mata berwarna biru, berambut pirang serta berhidung mbangir sedang duduk disampingku. Sekarang aku sedang terbaring lemah dikasur milik tentara Belanda itu.

"Siapa nama mu? Dan sedang apa kau tadi?" Dia bertanya menggunakan bahasa Melayu dengan aksen Belanda nya yang sangat ketara.

"Kau bicara Melayu? Maya Sari." Aku menjulurkan tanganku lalu ia menjabat tanganku.

"Frans de Houten, panggil aku Frans, jangan panggil aku meneer  atau Tuan. Aku lahir disini, jadi aku sedikit bisa bicara Melayu" ia tersenyum. Aku pun mengangguk mengerti.

"Maaf, tadi aku mengintip," Ucap ku lirih namun penuh penyesalan. "Apa kau yang kemarin membawaku ke dalam kamar saat aku tertidur di ruang tamu?" Tanya ku.

"Ya" Jawabnya singkat.

Kemudian dia beranjak keluar dari kamar. "Kau mau kemana?" Tanyaku lalu ia membalikkan badan nya kearahku.

"Tunggu saja" Aku hanya mengangguk.

***

Kulihat dia masuk kedalam kamar dengan nampan yang berisi beberapa potongan roti dan segelas air putih di tangan nya.

"Maaf aku merepotkan" Ucapku tidak enak.

"Kau sedang sakit jadi aku membuatkanmu ini" Ujarnya lalu membantu ku untuk duduk.

"Dankjewel (Terima kasih) kau baik sekali" Ujarku. "Aku pribumi, kau tidak membunuhku?" Tanya ku heran. Tapi yang ditanya malah tertawa.

"Aku masih waras, aku hanya terpaksa karena ini semua perintah atasan" Ujarnya.

"Jarang sekali menemukan wong Londo sepertimu, untung yang bersamaku saat ini adalah orang yang baik, sehingga aku merasa aman" Aku tersenyum tipis.

"Bagaimana jika aku berubah menjadi Monster di Hindia Belanda? Seperti orang-orang Belanda kebanyakan?" Tanya nya.

"Mungkin aku akan kabur dan pergi dari rumah ini sebelum kau menjadikan ku gundik atau bahkan membunuhku" Jawabku seadanya.

"Aku hanya berpura-pura menembak, kau tahu? Peluru yang kupakai bukan peluru asli sehingga tidak akan melukai orang yang kutembak" Aku terdiam, mataku menatap lurus wajah Frans yang sempurna itu. Tetes demi tetes air mataku berjatuhan.

"Kemana keluarga ku?" Tanya ku dengan mata yang sudah basah. "Apa mereka sudah tewas terbunuh oleh rekan sebangsamu?" Tanya ku lagi. "Persetan dengan kalian! Kembali lah ke negaramu dan jangan pernah kembali lagi." Tangis ku meledak secara tiba-tiba.

"Aku tidak tahu, yang pertama kali kutemukan saat aku berada di rumah mu adalah kau, jadi kau lah yang kubawa kesini untuk kuselamatkan, saat aku kembali sudah tidak ada siapa-siapa lagi di rumah mu." Jelasnya.

Frans terlihat bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. Kemudian dia berjalan mengambil sesuatu di dalam lemari pakaian nya, ada sebuah kotak yang cukup besar. Lalu dia memberikan kotak itu kepadaku.

"Kau belum berganti pakaian? Coba lihat beberapa pakaian ini." Tawar nya.

"Apa maksudmu?" Tanya ku dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Buka saja! Kau pasti menyukainya" Ujarnya. Lalu aku mulai membuka kotak tersebut dengan perlahan.

"Bagus-bagus, tetapi jika aku yang memakainya tidak akan pernah cocok, kecuali 3 kebaya beserta bawahan nya ini." Aku tersenyum.

Jujur, semua pakaian ini sangat bagus, namun hanya terdapat 3 kebaya berwarna putih beserta bawahan nya. Dan yang lain adalah pakaian modern seperti yang dipakai orang-orang Eropa kebanyakan.

"Kau tidak gila kan? Tanya ku. "Orang-orang akan mengataiku 'sok Eropa' jika melihatku memakai pakaian seperti ini." Jelasku.

"Kau akan terlihat semakin indah jika memakai pakaian itu, tidak akan terlihat seperti Mawar apalagi Nyai melainkan seperti Tulip. Tulip yang cantik." Ujarnya yang membuat hati ku berdetak kencang tidak terkontrol.

"Mau bagaimana pun juga, aku tetap seorang Pribumi, orang yang rendah dan hina." Ucapku penuh penekanan.

"Kau tidak rendah dan kau tidak hina. Aku tahu kau Pribumi. Namun derajat kita sama dimata Tuhan. Eropa gila sama saja dengan Pribumi gila. Tidak ada yang terendah dan tidak ada yang tertinggi." Jelas nya. "Sudahlah, lebih baik kau pakai salah satu pakaian ini, aku tidak sabar ingin melihatnya" Ujarnya. Aku pun mengangguk meng-iyakan.

•••

Tempo DoloeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang