6

440 41 8
                                    

Kubuka mataku secara perlahan. Samar-samar terdengar suara ibu yang tengah membangunkanku.

"Ayo bangun, ikut ibu ke pasar!" Ibu membangunkanku seraya menggerakkan badanku pelan.

Ternyata aku sedang mimpi, kejadian kemarin hanyalah mimpi. Aku terlalu memikirkannya sampai-sampai terbawa ke alam mimpi. Tuhan, aku bisa gila jika terus seperti ini.

"Tumben sekali mengajakku." Aku meregang-regang serta menarik-narik tangan dan badan, telah menjadi kebiasaan sebelum bangkit dari tidur.

"Banyak yang akan ibu beli, jadi ibu membutuhkan bantuanmu. Apa kau bersedia?" Tanya beliau.

"Ya tentu saja, tunggu sebentar." Ujarku.

Ibu beranjak dari kamar menungguku bersiap-siap sambil duduk di kursi yang berada di depan rumah.

Seperti biasa, aku membersihkan diri, berganti pakaian dan sedikit bersolek namun tidak berlebihan. Ketika berganti pakaian, aku teringat pada pakaian pemberian Frans. Dia baik sekali.

"Maya, apa belum selesai?" Terdengar suara teriakan ibu dari luar.

"Iya bu, sebentar!" Aku bergegas keluar dari kamar dan menemui ibu yang sedang menungguku. "Maaf, agak lama." Aku menyengir sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Ayo!" kami berjalan kaki menuju pasar, membutuhkan waktu setengah jam untuk menempuh perjalanan ke pasar yang ingin kami kunjungi.

***

Akhirnya kami sudah sampai, terlihat banyak orang-orang Eropa dan Pribumi berlalu-lalang dijalanan dan ada pula yang sedang berbelanja, mereka menyibukkan diri masing-masing.

Aku hanya membuntut dibelakang ibuku, karena aku hanya membantu membawakan belanjaan nya.

Aku melamun, mataku tertuju pada sosok laki-laki Belanda yang sedang membeli roti, lalu dia melihat sekeliling dan matanya berhenti tepat mengarah kearahku, aku tepergok telah memperhatikannya sedari tadi. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada ibuku yang sibuk menawar.

"Ibu, ayo. Jangan berlama-lama disini." Ujarku sambil menarik tangan ibuku untuk menjauh dari sini.

Sesekali aku melihat kebelakang untuk mengecek apakah dia masih melihatku. Laki-laki itu masih melihatku dan mulai berjalan kearah ku. Jantungku berdetak tidak karuan, apa yang harus kulakukan sekarang.

"Ibu, aku harus ke toilet sekarang. Jika ibu sudah selesai, tunggu saja di depan pasar, terdapat beberapa kursi disana, ibu bisa menungguku disana. Aku tidak akan lama." Ibu hanya mengangguk meng-iyakan. Aku berlari tergesa-gesa padahal aku sedang tidak ingin buang air kecil, hanya saja aku ingin menghindar dari laki-laki itu.

Tuhan, laki-laki itu benar-benar mengejar ku sekarang, habislah aku. Mungkin toilet bisa membantuku, aku akan bersembunyi di dalam sana.

Akhirnya aku sampai di depan toilet lalu aku segera masuk kedalam untuk bersembunyi. Aku melihat ada sebuah lubang kecil disekitar gagang pintu toilet ini. Terlihat laki-laki Belanda itu sedang berdiri tepat didepan pintu toilet yang kumasuki ini. Apa dia tahu kalau aku sedang berada didalam sini.

***

Mungkin sekitar 20 menit aku menghabiskan waktu didalam toilet namun aku tidak melakukan apapun, hanya membisu dalam kediaman. Aku memutuskan untuk keluar dan berharap laki-laki Belanda itu sudah pergi. Dengan tangan gemetar aku membuka pintu secara perlahan, aku tersentak, mataku melotot tidak percaya, laki-laki Belanda itu sekarang berada tepat di hadapanku. Dia mendorongku masuk lagi kedalam toilet namun aku tidak sendirian, dia juga ikut masuk. Apa-apaan ini, aku tidak pernah menginginkan ini.

Dia mengunciku dengan kedua tangannya. Aku tidak berani melihat apalagi menatapnya, aku hanya menduduk menghadap kebawah, berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan. Laki-laki Belanda itu mulai memegang daguku untuk mengangkat wajahku.

"Buka matamu!" Perintahnya, dia berbicara Melayu dengan aksen Belanda yang sangat ketara. Kubuka mataku secara perlahan dan kudapati seseorang dengan mata berwarna biru yang sama persis seperti Frans, hanya saya dia sedikit kehijauan. Dengan rambut yang sama pirang nya dengan Frans. Ya pokoknya seperti itulah, rupa nya seperti orang-orang Eropa lainnya. Memiliki tubuh tinggi menjulang, berhidung mancung, berkulit putih dan berambut pirang atau kecoklatan.

Dia mencubit hidungku pelan. "Kau salah masuk toilet, ini untuk pria." mataku membulat tidak percaya, ini sungguh memalukan.

"Ayo ikut aku!" Dia menarikku keluar dari toilet ini dan membawaku kembali ke pasar. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan, aku hanya menurut saja dengan apa yang diinginkannya karena aku tidak ingin mati konyol. Dia membawaku ketoko roti yang didatanginya beberapa menit yang lalu sebelum dia mengikutiku ke toilet.

"Kau mau?" Tanya nya.

"Tidak, terimakasih." Ujarku sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan.

"Saya ingin roti itu." Dia berbicara pada penjual roti dan menunjuk roti yang ingin dibelinya.

"Steven van den Rijvers." Dia mengulurkan tangannya.

"Maya Sari" Aku menjabat tangannya dan tersenyum.

Steven memberikan roti yang baru saja dibelinya itu kepadaku. Aku tidak mengerti apa maksudnya, padahal aku tidak meminta apapun padanya.

Saat dia memberikan roti nya padaku, aku menunjuk diriku dengan jari telunjukku, bertanya apakah roti ini untukku. Dan dia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban iya. Aku pun menerima roti pemberiannya dengan senang hati.

•••


Tempo DoloeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang