Aku Pulang.,
Mereka berpelukan hangat, melepas rindu yang lama merapal. Temu sejatinya adalah pembayaran mahal dari sebuah penantian. Air mata berjatuhan membasahi lengkung senyum di bibir. Semua yang menyaksikan ikut terharu, berjumpa dengan kawan lama, pasangan, saudara, ayah dan ibu, anak, sanak keluarga. Mereka menanti dengan sabar di balik ruang tunggu. Gelisah tak sabar bertemu. Bolak balik memandangi jam tangan yang tak kunjung henti merampas waktu. Detik demi detik, jam demi jam hingga akhirnya terbayar dengan perjumpaan dalam pelukan mesra. Disambut oleh orang-orang yang setia menanti kedatangannya. Sementara aku, aku masih saja berdiri di atas kapal, memandangi tontonan yang mengharukan itu. Dengan keril besarku yang tingginya melebihi kepala, celana panjang yang hampir di segala sisinya sudah dihiasi oleh jahitan warna warni. Kemeja flannel andalan yang sudah berubah warna menjadi abu-abu, sepatu yang sudah tak beralas lagi. Terlihat seperti orang gembel yang menumpang di kapal. Tidak ada acara pelukan, tangisan, tidak ada yang berteriak memanggil namaku dari balik ruang tunggu seperti halnya mereka. Menghela napas seolah semuanya tenang dan baik-baik saja. Kaki mulai menuruni anak tangga kapal satu persatu. Di susul oleh beberapa orang yang berlarian tak sabaran menjumpai seseorang dibawah sana
“Permisi mas..” menabrak dari belakang, hampir saja aku kehilangan keseimbangan.
“Maaf mas, aku buru buru”. Suaranya samar terdengar, aku menghiraukannya. Satu tabrakan lagi dari belakang.
“Bos, jalannya bisa dipercepat tidak?, ini barang berat bos” yang tadi menegur ramah, kali ini menyolot seperti bunyi klakson kapal.
Menghela napas lagi dan lagi. Anggap saja semua itu adalah bentuk sambutan terhadapku. Untuk kesekian kalinya, aku kembali berdebat dengan pikiranku. Aku benar-benar telah kembali, akhir dari perjalananku, akhir dari kisahku. Saatnya aku merangkum semuanya dalam cerita untuk kusampaikan pada seseorang yang sudah menungguku dengan tidak sabar di kejauhan sana. Menghela napas lagi. Aku berjalan pelan menuju dermaga.
Semua orang terlihat haru diselimuti rasa bahagia dengan perjumpaannya di dermaga itu. Satu dua langkaku terhenti oleh suara yang tak asing terdengar di telingaku. Memanggil namamu beberapa kali. Aku berbalik, mengamati sekitar. Tidak ada orang, ahh mungkin saja salah dengar, halusinasi dengan keramaian orang-orang yang disambut meriah di dermaga. Melangkah lagi menuju parkiran mobil penumpang. Memperbaiki posisi keril yang terasa berat di punggungku. Talinya tidak lagi nyaman memeluk. Ditambah lagi harus menyeret pelan sepatu gembelku ini yang sudah tiada lagi alasnya.“Abang buru-buru?”
Langkaku terhenti untuk kedua kalinya. Kali ini suara itu bukan lagi hasil dari halusinasiku. Tepat di belakangku, suara yang khas menepuk mataku terbuka lebar, kaget. Aku berbalik, menjumpai dia yang berdiri mantap menghadapku dengan tatapan indahnya. Mata hitamnya berkilau-kilau, garis senyumnya melintang manis di bibirnya, rambutnya beterbangan diterpa angin laut, tangannya saling memijit jari jarinya. Kupandangi dari ujung rambut sampai kakinya. Tidak salah lagi, gadis yang sama dengan gadis yang kutinggalkan lima tahun terakhir sebelum aku meninggalkan Sulawesi untuk berkelana. Masih dengan keramahannya, dari suaranya menyapa, tatapan dan senyumnya selalu membuat batinku gelisah tak karuan.
“Senja rindu bang, kenapa abang tidak memberitahuku kalau abang telah pulang”
Belum ada kata-kata yang keluar dariku, badannya sudah merebah memelukku erat-erat. Tangisannya tak terbendung. Aku tak bisa tertahan lagi. Aku merangkul badannya, jantungku berdebar begitu kencang. Entah saat ini aku merasa senang, bangga, atau sedih. Kakiku gemetar ditutupi celana panjang berhiaskan jahitan warna warni itu. Pelukannya masih erat merangkul badanku. Sungguh aku tak pernah menyangka akan mendapatkan sambutan seperti ini. Dari seorang gadis yang begitu aku kagumi selama bertahun-tahun. Meninggalkannya dalam kerelaan.
Semua adalah soal waktu. Tidak ada yang tahu kapan harus berpisah dan kapan akan dipertemukan kembali dengan situasi yang sama ataupun berbeda. Semua hanyalah soal waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPASANG MATA NEGERI
Teen Fiction*** "Tentang seorang kakak yang rela berkelana di Bumi Nusantara demi mewujudkan impian dari adiknya yang buta dan lumpuh. Cerita ini diangkat dari sebuah Kisah Nyata yang akan membuat para pembaca seakan ikut berkisah dan merasakan apa y...