HATI PENENTU ARAH

13 2 0
                                    

***

“Pak aku pamit yah, terimakasih banyak bantuannya Pak, tanpa Bapak mana mungkin Tora bisa berada disini sekarang Pak”.

       Aku menatap penuh haru Pak Muklis, sungguh meski hanya beberapa hari saja bersamanya, banyak sekali pelajaran hidup yang bisa ku dapatkan darinya. Senyum diwajahnya membalas kata-kataku.

“Kamu hati-hati Tora, ingat nak, ingat pesan Bapak, dunia selalu kurang aman untuk ditempati berlindung.” Yah aku ingat kata-kata itu. Dari cerita Pak Muklis beberapa hari lalu.

“Siap, pasti pak”

“Oh yah Tora, kamu anak yang baik, dan bapak minta maaf sudah memakimu tempo hari, maklumi saja yah nak, jaga diri baik-baik, insyaallah kita akan bertemu lagi dilain waktu. Ini ada sedikit pemberian dari bapak untuk keperluanmu sewaktu-waktu. Ingat Nak, di kota seperti Makassar ini, kehidupan jauh lebih keras nak. Selalu jaga diri dengan sebaik mungkin ya dan salam buat keluargamu”.

      Aku menerima sebuah amplop, yang kutahu pasti isinya uang, untuk nominalnya aku tidak tahu. Aku pun tidak pernah mengharapkannya, tapi Puji Tuhan kalau ada, mana mungkin aku bisa hidup di tempat ini tanpa uang, aku sungguh beruntung bertemu keluarga ini, sangat baik dan ramah.

     Beberapa saat kemudian, mobil melaju anggun melewati lorong-lorong dan mulai melintas di jalan besar. Fitri duduk disebelahku, entah kenapa dia memilih untuk ikut, padahalkan sebentar lagi dia menikah, urusan rumah lebih penting dibanding harus mengantarku, kan sudah ada Pak Maman. Tak henti-hentinya ia menatapku dengan senyuman. Bibirnya tampak kering dan pucat, ah mungkin saja karena capek dengan tamu undangannya yang mengharuskannya tersenyum setiap saat.

“Mama Papa, Saudara, atau Om Tante ?” tanyanya tiba-tiba, membuatku bingung apa maksud perkataan Fitri

“Ahhhh?”

“Haha maksud Fitri, keluarga kamu yang di Makassar siapa?”

“Oh hehe, Tante”

“Oh tante, terus Mama sama Papa di mana?” tanyanya lagi.

        Kali ini aku benar-benar bingung menjawab apa atas pertanyaan ini. jelas-jelas ibu sudah tidak ada, bapak entah kemana perginya, sejak kecil pun aku hanya beberapa kali melihat wajah seorang bapak.

“Ibu sama bapak lagi kerja diluar kota, di Jakarta”

“Kerja apa?”. Pertanyaan yang tak ada ujung-ujungnya, dan selalu membuatku harus berpikir keras untuk mencari jawabannya, kepintaranku berbohong lama-lama bisa di gelarkan sebagai professor kalau begini terus.

“Ibu kerja di Bank, kalau bapak sebagai pengusaha”. Sambil memperbaiki posisi duduk.

“Wah hebat yah”. Aku hanya tersenyum.

      Mobil mejalu cepat, jalanan masih belum terlalu ramai, masih terhindar dari kemacetan tidak seperti hari kemarin yang membuat laju mobil seperti jalan siput. Badanku mulai gerah, tempat dengan suhu yang lebih tinggi tentu saja adalah hal yang baru buatku. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan seperti ini. tentu saja ini sangat berbeda dengan Toraja yang terkenal sebagai tempat paling dingin di Sulawesi Selatan. Makassar, adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia, wajar jika segala kondisi bisa terasa berbeda ditempat ini.

      Sekitar 30 menit berlalu, kami sampai di lampu merah. Tepat di mana kami berhenti kemarin. Dan juga ditempat inilah aku memulai segalanya di kota metropolitan ini.

“Hati-hati yah bang, jaga diri baik-baik. Jangan lupa sama Fitri kalau kita berjumpa lagi bang”.

      Untuk pertama kalinya suara lembut Fitri yang memanggilku abang terdengar lain, seperti sedang menahan tangis. Ah ini hanya pikiranku saja, mana mungkin dia bersedih karena berpisah dengan orang yang tak penting sepertiku.

SEPASANG MATA NEGERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang