***
"Abang tidak menyukainya kan?" kata Senja yang duduk di sampingku bersama dengan Nenek, Sendu dan Raja yang senyum-senyum sendiri di atas ranjangnya.
"Kalau suka, kenapa?"
"Jangann..... ah maksud Senja yah tidak apa-apa, suka ya suka saja, Senja hanya bertanya" Wajah putihnya sontak memerah.
Sendu yang di sampingnya cengengesan. Lalu di tonjok oleh Senja.
"Haha bercanda.... lagian pertemuanku dengan Girimekar hanya sampai di situ, setelahnya dia langsung lanjut menumpang truk berpasir sendirian"
"Abang tidak ikut?" tanya Senja kembali.
"Tidak".
Pak Sulis tiba-tiba datang. Pak Sulis adalah saudara dari Pak Alif yang juga bekerja di rumahnya Senja sebagai penata taman rumah. Hari ini Pak Alif berulang tahun, dan mengadakan acara kecil-kecilan di rumahnya.
Kami memutuskan untuk sama-sama berangkat ke rumahnya. Rumahnya sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Bisa ditempuh hanya dalam beberapa menit saja. Berjalan kaki pun mungkin sanggup, namun karena hujan diluar yang deras, maklum saja ini adalah musik hujan di Toraja, Pak Sulis datang menjemput kami.***
Aku kembali ke Makassar, tetap dengan menumpang pada truk pengangkut pasir di keesokan harinya.Di basecamp aku memutuskan untuk menginap lagi semalam, meskipun lututku sudah baikan, namun luka di siku tanganku terus mengeluarkan darah.
"Lukanya parah". Kata Bang Pono.
Bang Pono adalah seorang pendaki senior yang namanya tidak lasim lagi di kalangan pendaki, khususnya di Sulawesi. Bang Pono pernah menjadi salah satu anggota dalam ekpedisi sebuah gunung paling berbahaya di asia tenggara yang terletak di Myanmar, Gunung Hkakabo Razi.Kata Bang Pono mendaki itu bukan soal seberapa jauh kamu melangkahkan kaki, tapi tentang sejauh mana kamu mendalami setiap langkahmu itu. Percuma jika kau sudah menaklukkan puluhan bahkan ratusan puncak sekalipun namun tak ada kesan yang kau tinggalkan di setiap jejakmu itu. Mendaki juga bukan soal seberapa berpengalamannya kau di alam. Tetapi tentang seberapa siapnya kau menghadapi setiap cobaan dan masalah di alam.
Semua orang bisa berjalan jauh, semua orang bisa berkelana seperti kebanyakan orang lainnya yang sudah mengelilingi ratusan tempat di negeri bahkan sudah menjelajahi setiap sudut bumi. Tapi tak semua orang bisa meninggalkan kesan dan membawa pesan tentang apa makna perjalannnya itu. Seperti makan tanpa lauknya. Kenyang namun tak puas.
"Sudah lama Abang di sini" sahutku sembari membaringkan badan pada matras yang sudah berdebu di lantai.
"Cukup lama, 5 tahun lalu setelah lelah berkelana, aku memutuskan untuk kembali ke sini, menjadi bagian dari KPS (Komunitas Peduli Sesama) yang kerap kali harus mempertaruhkan hidupnya demi menyelamatkan orang-orang yang dalam musibah, tidak terkecuali bila ada pendaki yang tersesat dan hilang.
"Itu selalu terjadi", lanjutnya.
Jangan pernah mendaki jika kau memiliki keraguan dalam dirimu, alam bukan tempat bermain bukan juga rumah apalagi tempat uji coba nyali, itu sama sama saja merelakan nyawamu melayang sia-sia. Seorang pendaki tak cukup bermodalkan tenaga, terkadang sesuatu yang tak pernah diperhitungkan justru itu yang membuat kita terjebak dalam bahaya.
"Kakimu baik-baik saja?".
Seorang pendaki yang sudah berpengalaman seperti Bang Pono pasti sudah tahu kenapa ini terjadi kepadaku, dan aku tahu kenapa ia banyak menceritakanku tentang apa itu mendaki dan bagaimana memaknai setiap perjalanan, itu karena memang dalam diriku sama sekali kosong akan hal itu. Yang kutahu hanya coba-coba, selalu ingin coba-coba pada hal yang baru. Dan itulah ganjaran yang kudapatkan. Keras kepala yang menguasai diri.
"Baik-baik saja Bang, hanya sedikit memar"Malam yang begitu berarti di tempat ini, begitu banyak pelajaran yang kudapatkan dari Bang Pono tentang sebuah makna perjalanan, tentang sebuah kecintaannya pada negeri ini, dan tentang ikatan yang membuatnya takkan pernah bisa lepas dari kecintaannya akan alam.
"Jika kau bermimpi untuk mencintai negerimu sendiri, sesungguhnya kau tak perlu berjalan keliling negeri, karena negeri yang indah ada dalam hatimu, ketika kau mencintai dirimu sendiri, sejatinya itu adalah kecintaanmu pada negerimu sendiri. Hati yang diliputi cinta adalah negeri yang juga diliputi cinta. Jati diri itu bukan untuk di cari, kau berkeliling dunia pun, kau takkan pernah bisa mendapatkannya, karena jati diri itu dibentuk dalam diri sendiri, jati diri adalah dirimu sendiri, jika kau menjadi orang yang selalu bersikap penolong, itulah jadi dirimu sebagai seorang yang bermanfaat bagi orang lain dan begitu juga sebalikknya"
Setelah sarapan pagi yang sebenarnya bukan juga sarapan, hanya ada kopi dan sepotong roti tawar. Aku pamit untuk kembali ke Makassar, namun tidak lagi bersama dengan Girimekar. Dia berangkat duluan, katanya sedang buru-buru. Setelah berbicara singkat, kami pun berpisah di basecamp.
Di atas truk berpasir, aku mengeluarkan sebuah buku kecilku, aku kembali menulis sedikit demi sedikit tentang perjalananku ini, sejak aku berangkat dari Toraja, berjumpa dengan Pak muklis, dengan Fitri anak Pak Tom, tentang si anak kecil berkaleng kecil, tentang Ibu yang menyambutku seperti anak, tentang pendakianku saat ini bersama si gadis aneh Girimekar. Pena kecilku terus mencatat bagian-bagian itu hingga tak terasa aku telah sampai di Makassar.
Sang sopir menghentikan laju truknya. Aku hanya berterima kasih dan memberinya beberapa tip namun tidak diterima, katanya sudah biasa ia memberi tumpangan cuma-cuma untuk para pendaki.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPASANG MATA NEGERI
Teen Fiction*** "Tentang seorang kakak yang rela berkelana di Bumi Nusantara demi mewujudkan impian dari adiknya yang buta dan lumpuh. Cerita ini diangkat dari sebuah Kisah Nyata yang akan membuat para pembaca seakan ikut berkisah dan merasakan apa y...