KOTA METROPOLITAN

7 2 0
                                    

***
      Hari itu juga, kami berangkat ke Makassar, menggunakan mobil pribadi Pak Tom, terkesan sangat mewah. Aku duduk di belakang sembari menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Menjadi penjual bakso cukup memberiku banyak pelajaran berharga. Ini langkah , titik awal aku akan berangkat. Dari Pak Muklis aku belajar tentang hikmah. Semua yang terjadi dalam hidup ini akan ada hikmah dibaliknya. Pak Muklis yang kehilangan motor dagangannya ditawarkan dengan motor Vixion pemberian Pak Tom sebagai tanda terimakasihnya atas bantuan Pak Muklis 10 tahun lalu sebelum Pak Tom menjadi seorang Polisi, tapi Pak Muklis menolaknya, dengan alasan yang tak jelas. Tidak sampai disitu, bahkan Pak Muklis ditawarkan untuk memilih tinggal di Makassar dan akan dibelikan rumah oleh Pak Tom, semua yang di inginkan Pak Muklis, akan diberikan. Luar biasa, hanya tentang keikhlasan saja hikmah dibaliknya akan berlipat ganda berdatangan. Dari seorang tukang bakso aku belajar bagaimana untuk tidak mudah mundur dalam segala musibah, dari seorang tukang bakso aku belajar bagaimana belajar untuk ikhlas dalam segala hal, dan dari tukang bakso aku belajar, bahwa hidup ini adalah misteri yang takkan pernah kita tahu akhirnya bagaimana.

      Rasanya aku sudah begitu lama meninggalkan rumah. Tak terlintas lagi dalam pikiranku tentang truk berdebu yang mengantarkan ku pada kandang para manusia bedebah, membuatku putus asa dalam seketika. Tapi berkat itu semua, aku dipertemukan sosok Pak Muklis yang membuatku kembali bangkit dari keterpurukan.

      6 jam berlalu, mobil melaju pada jalan besar, sebesar lapangan bola di kampung bahkan mungkin lebih besar lagi. Gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi ke angkasa bahkan mungkin ada yang sudah menyentuh perut langit, ratusan mobil antri dengan tidak sabar, bunyi klakson memenuhi langit, debu jalan bertebaran kemana-mana, kemacetan. Jalan sebesar lapangan bola saja masih macet, tidak bisa kubayangkan jika ini terjadi di Toraja yang jalan rayanya mungkin hanya seperempat dari jalan ini. Para sopir pete-pete berteriak bersitegang dengan pengemudi bus yang mengambil setengah jalan untuk menurunkan penumpangnya. Pengendara motor meliuk-liuk dengan lincah di sela-sela mobil memicu ketegangan bagi yang pertama kali menyaksikannya, seperti aku. Lampu merah penertib lalu lintas, malah menjadi penambah kemacetan. Gerah, keringat membasahi sekujur tubuh, padahal ini sudah sore menjelang malam. Senja untuk yang kesekian kalinya kembali menampakkan keindahannya dibalik sudut barat langit, sinar jingganya menerobos kaca mobil dengan leluasa. Tetap saja, biarpun ada senja yang indah, tampakan kota tetap merusak suasananya.

      3 jam berlalu dengan sia-sia mobil merayap lambat-lambat lalu berhenti, merayap lagi lambat-lambat lalu berhenti lagi. Ah semangatku kembali padam. Hujan deras datang tanpa pamit, mengguyur dengan hebatnya. Kami tiba di lampu merah, belasan bocah bersimbah ingus datang menyerbu, menyembah-nyembah menyodorkan kaleng kecilnya minta uang, ada pula yang menenteng tissu, mengetuk kaca mobil dengan tatapan menakutkan. Pak Tom menghentikan laju mobilnya yang melipir dekat toko kecil dipinggiran jalan.

“Sudah sampai Pak?” Tanya Pak Muklis yang baru saja tersadar, enak benar tidurnya sepanjang perjalanan.

       Pak Tom hanya membalas dengan senyum, membuka pintu lalu keluar berjalan ke pintu toko itu. Kami terdiam di mobil. Lagu akad dari Payung Teduh menutupi kebisingan suara klakson yang kini semakin ramai bersautan di lampu merah. Tidak ada indah-indahnya untuk diceritakan kota ini. Air sudah mulai menggenangi jalan, hanya tampak punggungan-punggungan aspal kecil ditengah-tengahnya, banjir. Seperti yang terlihat di tv, bukan kota namanya kalau tidak kenal banjir, dan benar saja kini air sudah menggenangi seperdua dari ban mobil, para pengendara roda dua berlomba-lomba mengambil posisi depan ditengah kemacetan lampu merah. Terlihat seperti mengambil posisi star yang baik untuk balapan.

“tooook tookkk tokkkk”. Kaca mobil diketuk, tak ada orang yang tampak dibaliknya, hanya ada tangan yang menempel mengepal mengetok kaca mobil. aku mendekat meraih pintu mobil.
     
       Aku kira Pak Tom, ternyata itu adalah seorang anak kecil, hanya setinggi pegangan hendle pintu mobil, pantas saja orangnya tidak kelihatan. Aku membuka pintu, sebuah kaleng kecil langsung menengadahh kearahku, disusul senyum merayu pada wajahnya. Yah Tuhan, apalagi ini, mungkin inilah yang pernah diceritakan oleh nenek. katanya ada banyak orang yang hidupnya terlantar dimuka bumi ini, hanya mengandalkan uluran tangan orang lain untuk bisa hidup, selebihnya itu adalah kepasrahan. hidup dan mati adalah kepastian, slogam mereka.

SEPASANG MATA NEGERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang