PARA BOCAH JALANAN

12 1 1
                                    

***

      “Andaikan ibu masih hidup, bang. ibu pasti sangat bangga denganmu”. Untuk kesekian kalinya Raja lagi-lagi menyebut ibu, matanya selalu berkaca-kaca setiap menyebut kata itu, dan untuk kesekian kalinya juga dia membanggakan aku. Harusnya aku yang bangga padanya, harusnya. Bukankah yang lebih banyak menghadapi berbagai persoalan hidup adalah dia, bukankah yang benar-benar mengerti apa itu masalah hidup adalah dia.

“ibu akan bangga kepada kita, dik” kataku sambil memalingkan wajah ke kaca.

       Ibu, begitu rindunya kami kepadamu, benar kata Raja, andaikan saja engkau masih ada saat ini, pasti hidup ini jauh lebih menyenangkan. Tapi aku yakin, rencana Tuhan bukanlah Rencana kita, semua adalah kehendaknya.

      Hujan datang mengguyur seketika. Para pengendara motor kebut-kebutan menghiraukan lampu merah yang masih menyalah selama 14 detik, aku yang berlarian menyebrang hampir saja tersenggol. “sundala”, katanya memaki lalu tancap gas pergi. Aku hanya menghiraukannya lalu berusaha secepat mungkin mencari tempat berteduh terdekat. Dari kejauhan terlihat beberapa anak kecil yang berlarian mencari tempat berteduh, mereka kemudian berkumpul di sebuah bangunan tua, tidak besar ukurannya, 3 helai atap seng non-permanen menutup bangunan itu. Hujan semakin deras, aku ikut berlari menuju ke bangunan itu, bajuku sudah setengah basah, terasa dingin saat pertama kali menyentuh badan.

“Li, awas, sinii” Kata seorang anak kecil memanggil seorang lagi yang ikut berteduh di sampingku.

      4 orang anak, dengan pakaian kaos bolong sana sini dan melorot kepanjangan, bahkan biarpun aku yang mengenakannya, baju itu akan tetap kebesaran di badanku. Perlahan anak kecil di sampingku pindah tempat dan mendekat kepada salah seorang gadis kecil berambut kepang dua yang memanggilnya. Aku seperti tontonan, mereka menatapku satu persatu, mungkin aku di kira orang jahat. Atap 3 lembar yang menjadi tempat perteduhan kami tidak sepenuhnya menghalau air hujan yang semakin deras. Para pengendara motor dan becak mulai melipir di sepanjang jalan untuk memasang jas hujan, ada pula yang ikut mencari tempat perteduhan.

“Tik tik tik, bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira”,

       salah seorang bocah laki-laki mulai bernyanyi, entah ingin memamerkan suaranya yang sama sekali tidak bagus di dengar atau apalah maksudnya, aku pura-pura tidak melihatnya,

“Cobalah tengok dahan dan ranting”.

      Dilanjutkan oleh gadis kecil yang berada di sampingku tadi, yang lainnya ikut meramaikan, ada yang bertepuk tangan dan ada juga memukul-mukul kaleng-kaleng bekas di tangannya.

“Pohon dan kebun basah semua”.

       Mereka semakin bersemangat bernyanyi, bahkan menurut hitunganku, lagu itu sudah diulang-ulang sebanyak 7 kali. Seorang gadis yang paling besar dari anatara mereka mulai mendekatiku, aku masih pura-pura menghiraukannya. Mau menantangku bernyanyi, ah siapa takut, mereka belum tahu, aku ini pernah juara satu lomba nyanyi saat natal 10 tahun lalu, jelas saja suaraku jauh lebih merdu dari bocah-bocah ini. Beberapa saat kemudian, sebuah kaleng kecil mulai berayun-ayun di depanku, mereka semakin semangat bernyanyi, bahkan sudah tidak menghiraukan lagi dengan bajunya yang sudah basah kuyup terkena hujan. Aku baru sadar, mereka ini adalah bocah yang sama dengan anak berkaleng kecil tempo hari yang menjual senyumannya kepadaku. Ah lagi dan lagi aku harus bertemu dengan anak-anak ini.

“Maaf dek, abang sedang tidak ada uang, lain kali ya?” jawabku sambil memalingkan pandangan.

      Mereka tak berhenti bernyanyi, bahkan salah satu dari mereka yang paling kecil tiba-tiba memegangi bajuku sambil mengacungkan kaleng kecilnya juga. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Matanya berbinar-binar memandangiku, bajunya yang melorot kepanjangan melebihi celananya menambah rasa ibah di hatiku. Dalam hati, ada kasihan dan juga rasa mengutuk, kasihan pada mereka yang baru sekecil ini sudah mencari uang sendiri, aku saja yang sejak kecil keluar rumah untuk sekedar bermain pun minta izinnya minta ampun, hanya di kamar dengan tumpukan buku-buku tebal yang harus ku selesaikan, kata ibu demi cita-cita. Mana mungkin aku tahu rasanya cari uang sendiri seperti bocah-bocah ini. Selain kasian, rasanya aku ingin mengutuk orang tua mereka yang begitu kejam membiarkan anak-anaknya harus bekerja seperti ini, harusnya masa kecil mereka di habiskan dengan sekolah atau bahkan bermain riang seperti anak kecil lainnya.

SEPASANG MATA NEGERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang