MAY DAY

18 1 0
                                    

***
      Hari demi hari terlewatkan dengan semangat hati yang terus membara akan mimpi petualangan. Sudah kuputuskan sendiri jalan hidupku ini.

       Justru karena masih ada harapan itu, sehingga aku masih saja bertahan untuk memperjuangkannya. Tak ada mimpi, tak ada harapan, tak ada kehidupan. Hampa.

     Hari ini adalah hari buruh sedunia, ini hari libur namun kendaraan mengalami macet yang berkepanjangan dari ujung ke ujung kota. Katanya ada seruan aksi dari masyarakat dan mahasiswa.

       May Day atau hari buruh yang pada awalnya terjadi di Inggris sebagai reaksi revolusi industri yang kemudian menyebar keseluruh negara-negara. Di Indonesia, hari buruh pernah dilarang karena dianggap sebagai penyebab kekacauan, demo besar-besaran dan juga pencemaran nama baik bagi para petinggi negara yang di hina terang-terangan oleh para kelompok penindak.

       Mereka mempertahankan "politieke teostand" sebagai sebuah gerakan bagi kaum buruh secara bebas berserikat, mengkritik, dan berpendapat. Tak jarang semua itu berujung pada sebuah perlawanan kepada pemerintah.

     Seorang mahasiswa berambut gondrong, dengan alat pembesar suara di tangan kirinya berdiri paling depan.

“Perjuangkan kaum buruh, perluas lapangan kerja” katanya dengan suara yang melengking membuat sorakan yang bergemuruh memenuhi langit-langit kota.

     Mahasiswa membakar ban mobil di tengah jalan, menutup setiap jalan yang membuat kemacetan seharian. Para aparat keamanan yang bertugas mengamankan aksi, tersudutkan oleh kerumunan massa. Setiap kali mahasiswa yang berdiri paling depan itu berkata-kata, suasana juga semakin memanas sampai akhirnya aksi protes yang menyuarakan perluasan lapangan kerja sampai peningkatan gaji buruh berakhir ricuh tak terkendali.

     Dilihat dari sudut pandang lain. Tidak ada seruan aksi, tidak ada kekacauan. Mereka yang menjual senyuman sambil memboyong anak kecil di tengah teriknya matahari terus berjalan, melongok setiap kendaraan yang berhenti disepanjang jalan.

      Anak-anak kecil dengan ingus bergelantungan memetik tali gitarnya menyanyikan lagu-lagu tak jelas. Ini hari buruh, hari yang di tunggu-tunggu. Pendapatan bisa jadi berlipat ganda dari hari biasanya. 

      Orang-orang yang kasian kerap kali mengajak makan atau sekadar menyodorkan air minum dan beberapa lembaran berharga. Ada juga yang memaki karena risih akan kehadirannya.

“Terimakasih”. Aku dikejutkan oleh ucapan itu. Seseorang yang tiba-tiba menyentuh bajuku.

      Ya Tuhan, benar-benar tak terbayangkan. Aku kembali berjumpa dengan bocah kecil berkaleng kecil yang waktu itu datang mengetuk kaca mobil dengan senyuman polos di wajahnya. Lihatlah baju flannel itu, dengan warna yang sudah memudar lebih tepatnya tak berwarna lagi masih ia pakai meski melorot karena kebesaran.

      Tak kusangka akan bertemu lagi dengannya.

      Inilah hidup, yang dikatakan sebagai sebuah perjodohan, bahkan dengan orang yang tak pernah kusangka sebelumnya.

      Mungkin inilah mereka dengan negeri kecilnya di tengah-tengah kota besar. Meski mereka tak dianggap keberadaannya, tapi mereka ada untuk menghibur dan ada untuk membuat orang tersenyum. Si kaleng kecil yang berhati mulia.

     Bukan tentang seberapa berharganya orang lain bagimu, tapi tentang seberapa berharganya dirimu bagi orang lain. Semua orang memiliki nilai, semua orang bisa merasakan senang tapi tak semua orang bisa memberikan bahagia.

      Setelah berjumpa kembali dengan si bocah berkaleng kecil, dia kembali pergi sebelum aku ingin mengisi kaleng kecilnya. Entah kemana perginya.

      Matahari semakin terik, seterik semangatku yang kini makin menggebu-gebu tentang petualangan. Mereka yang sudah menjelajahi setiap sudut negeri dengan ribuan rentetan kisah sebagai bekal pelajaran hidup dari setiap tempat yang sudah mereka kunjungi, seakan menjadi tolak ukur juang dalam diriku. Kalau mereka saja bisa melakukannya, untuk hal apa aku harus menyerah begitu cepat. Si pria kurus yang ingin mengikuti jejak dengan caranya sendiri.

     Adalah tentang mimpi yang membawanya sampai pada keputusan ini, tentang adiknya yang nan jauh di sana menunggu kisah-kisahnya.

       Jangan menyebutnya pengelana, penjelajah atau apapun itu, sama sekali tidak layak untuknya. Dia hanya seorang pejalan biasa yang belajar mencintai negerinya dengan caranya sendiri.

      Bang Pono yang telah menyusuri negeri dengan sejuta pengalaman indah, memberi banyak pelajaran tentang makna dari sebuah perjalanan.

      Setelah beberapa kali meyakinkan diri dengan segala risiko yang dipertimbangkan, ku putuskan untuk bergerak meninggalkan Makassar.

      Dengan semangat hati yang terus menyibak dada. Aku telah siap dengan apa yang yang harus kutanggung. Hari ini, aku berangkat.

***

SEPASANG MATA NEGERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang