***
“Segala lelah akan terbalas puas bang, kita memang harus berlelah-lelah dahulu kan. Semua itu ada balasan bang, ada lelah pasti ada saat kita menikmati kelelahan itu, lagi-lagi tentang hati bang, banyak orang yang berlelah-lelah sampai lupa sudah sejauh mana berjuang namun akhirnya berujung penyesalan, ada orang yang bersantai-santai menikmati setiap alur perjalanannya sampai lupa apa tujuan hidupnya. Ada juga orang yang berlelah-lelah namun tetap santai menikmati kelelahannya, hingga menemukan kebebasan dan kepuasan hatinya.
Bukankah arti dari kemerdekaan sendiri adalah tentang kebebasan dalam diri?.
Semua hanya tentang, bagaimana digunakannya hati dalam setiap hal”.
Aku kembali terdiam. Ini sudah hari ke 3 kami di rumah sakit, kata Senja, kabar Raja sudah jauh lebih baik akhir-akhir ini. Dan katanya juga Raja sudah bisa menggunakan bantuan tongkat dan harus terlatih untuk tidak menggunakan kursi rodanya”
***
“Sudah bangun Tora?”. Sahut bang Diskara yang sudah selesai memasak di luar tenda.Angin berdesir menerpa dedaunan yang jatuh berguguran, pandangan terbatas, tertutup kabut tebal, matahari pagi tak terlihat lagi. Yang seharusnya diharapkan akan cerah, ternyata malah badai, kata salah seorang pendaki yang sudah kembali dari puncak.
Bang Diskara berbincang-bincang dengan ke tiga kawannya, mungkin saja bernegosiasi tentang apakah akan lanjut atau kembali saja. Satu persatu tenda mulai di gulung kembali, ada yang kembali dan ada juga yang bersikeras untuk tetap melanjutkan perjalanan. Segalanya masih bisa berubah dalam 7 jam pendakian menuju puncak Bawakaraeng, kata mereka. Ada juga yang masih duduk santai menikmati kopi di depan tenda sembari menjepretkan kamera, mengabadikan momen pagi itu. Beberapa bergaya ala pendaki profesional, ada juga yang bingung memilih gaya apa yang cocok dengan foto berlatarkan kabut.
“Kuat juga kau, dasar cupu”.
Suara dibalik tenda merah yang tertutup setengah, bagian atasnya terbuka, aku bisa mengintip masuk. Beberapa saat setelahnya, tenda itu terbuka, muncul kepala seorang perempuan, ya dia adalah cewek yang duduk bersamaku di mobil pick up kemarin sore. Baru kali ini aku mendengarnya berbicara. Wajahnya yang terlihat sangat anggun pagi ini membuatku langsung mematung tak berkutik, dengan jaket merah dan rambut yang ditutupi oleh topi terlihat sangat cocok ia kenakan.
“Kenapa menatapku begitu, pria cupu”. Katanya kembali, lalu keluar dari tenda, merapikan tendanya.
Terlihat dari caranya menggulung matras, memasukkan barang barangnya ke dalam keril, dan juga caranya membongkar tenda, dia terlihat seperti wanita pengelana yang sudah sangat profesional.
“Namaku Tora”. Mengulurkan tangan, coba berbicara lebih santai.
Jaketku perlahan terasa dingin karena basah oleh kabut dan angin yang membawa butiran-butiran hujan. Dia tetap saja tidak memperdulikan ku, wajahnya tidak begitu tertarik untuk berbicara.
“Kita kemarin satu mobil kan?” kataku kembali sambil memperhatikan gerakan tangannya yang begitu lincah melipat tenda yang hanya dalam sepersekian menit sudah beres terlipat rapi, menyisakan keril besar, sangat padat oleh barang bawaannya. Dia tetap saja tidak menjawab. Mengangkat kerilnya lalu berjalan menuju arah barat, itu adalah jalur menuju ke pos 6, berarti dia melanjutkan perjalanannya, sendirian, benar-benar mengagumkan.
“Namamu siapa?” untuk terakhir kalinya sebelum punggungnya hilang di balik kabut.
“Menyerah saja, pria cupu” katanya, lalu hilang di balik kabut.
Pria cupu, ya dia memanggilku pria cupu, aku rasa itu adalah penghinaan yang berarti. Sudah terbiasa aku mengalaminya sejak kecil. Bocah tolol, anak durhaka, si payah, bodoh. Itu sudah biasa. Tapi kali ini terasa ada yang berbeda. Sejak kapan aku terlihat cupu di matanya, bertemu pun baru sekali saja dan dua kali dengan pagi ini. Lalu julukan itu maksudnya apa?. Ah entahlah, aku kembali ke tenda, mendapatkan bang Diskara dan ke 3 kawan lainnya yang sudah menunggu untuk sarapan.
Dengan makanan seadanya, nasi putih dengan mi, namun tetap terlihat sangat nikmat untuk dilahap. Apa-apa memang terasa nikmat untuk di makan di alam ini, tak peduli sekotor apa itu, yang penting masih bisa dimakan. Syukuri saja, kata hatiku.
Sehabis sarapan bang Diskara pun memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, badai katanya, takut terjadi apa-apa. Dengan berbagai pertimbangan ia memutuskan untuk mendaki lain kali saja, setidaknya sudah sejauh ini, itu sudah cukup.
Waktu akan selalu ada untuk berbincang dengan semesta kapan waktu terbaik untuk bersahabat, katanya. Jujur saja aku berat hati, justru karena sudah sejauh ini mana mungkin aku harus pulang dengan sia-sia, takkan ada waktu buatku, setelah ini aku akan pergi lagi menyusuri setiap pelosok negeri ini entah kemana lagi kakiku melangkah, tak ada kesempatan untuk pergi ke tempat yang sama. Semua harus terselesaikan, sudah memulai tak semudah itu untuk mengakhiri, apalagi hanya karena masalah badai, toh juga bisa singgah di perjalanan untuk berlindung sewaktu-waktu. Kataku dalam hati. Dengan keras kepala aku menolak saran dari bang Diskara.
“Maaf bang, aku akan tetap melanjutkan perjalanan”.
“Tora, ini alam, di sini kita adalah tamu, ini bukanlah rumah yang bisa kita bertindak sesuka hati, coba lihat sekeliling, lihat pendaki-pendaki itu, mereka berasal jauh dari kota, tapi mereka juga pulang. Jangan menantang maut Tora, yakinlah, beberapa hari kedepan kita akan kembali lagi, abang janji” katanya sambil memegang pundak ku. Aku tetap bersikeras menolak.
“Maaf bang, bukannya Tora tidak ingin mendengarkan mu bang, tapi aku harus tetap lanjut, ada pesan yang harus ku tuliskan di atas sana bang” sambil menatap kabut yang semakin tebal menutupi arah pandang.
“Ya sudah Tora, semua terserah padamu, abang hanya bisa menyarankan saja, semua tergantung padamu”
Setelah berdiskusi panjang, bang Diksara akhirnya mengalah, aku tetap melanjutkan perjalananku, mereka ber-4 memilih untuk kembali. Sebuah kesalahan besar yang sebenarnya sudah ku sadari sejak awal, ego yang tak pernah mau mengalah dalam diri membuatku bersikeras pada pendirian. Sebelum berpisah di pos 5, bang Diskara meminjamkan sepatunya, beberapa makanan yang masih tersisa dan juga sebuah peta sederhana menuju puncak Bawakaraeng.
“Hati-hati Tora, ingat, alam bukan tempat bermain, segala sesuatunya adalah pertimbangan, tekad dan niat tidak lah cukup Tora, pertimbangkan segala sesuatunya dengan matang-matang”. Aku mengangguk mantap, menggendong kerilku lalu berjalan menuju arah dimana gadis tadi mengarah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPASANG MATA NEGERI
أدب المراهقين*** "Tentang seorang kakak yang rela berkelana di Bumi Nusantara demi mewujudkan impian dari adiknya yang buta dan lumpuh. Cerita ini diangkat dari sebuah Kisah Nyata yang akan membuat para pembaca seakan ikut berkisah dan merasakan apa y...