"Eo? Hyung! Halo...." Chan melambai tinggi. Sadar dengan ubi panas di tangannya, Chan berteriak nyaring lagi. Menjatuhkan ubi bakarnya ke tanah. Beruntung ubi tersebut belum dikupas.
Seokmin menepuk jidat. Ternyata asap yang menyembul tadi adalah kayu bakar yang Chan nyalakan untuk membakar ubi-ubi miliknya. Hendak marah, gagal. Nyatanya ada yang jauh lebih menarik perhatian Seokmin. Yakni sosok bocah bernama Lee Chan yang nampak dengan lahapnya menyantap ubi bakar. Ubi tersebut sepertinya sangat manis dan gurih.
Perasaan marah Seokmin kini berganti dengan rasa lapar. Membuat pemuda mancung itu menelan ludah. Baru ingat. Sekarang matahari pasti telah berada tepat di atas kepala. Memasuki waktu tengah hari. Sedangkan ia belum makan siang sama sekali. Pantas saja seketika perut Seokmin berbunyi.
Saking laparnya, perut Seokmin yang berbunyi itu terlalu nyaring hingga dapat didengar juga oleh Chan. "Hyung mau? Aku punya banyak."
"Kamu sudah meminta izin pada ibumu masuk ke dalam hutan sejauh ini?" tanya Seokmin, selagi mendatangi di mana Chan duduk. Di atas batang pohon besar yang telah rubuh. Menghadap api yang belum juga dipadamkan. Masih ada beberapa potong ubi yang Chan bakar di sana. Menunggu matang.
Untuk menjawab pertanyaan Seokmin, Chan mengangkat bahunya sekali. Melahap ubi bakarnya dengan lahap. Jelas juga sedang kelaparan. "Aku kabur sejak tadi pagi."
Seokmin enggan bertanya. Kasus kaburnya Chan bukan pertama kali terjadi. Tapi yang membuat heran adalah, berani sekali bocah kecil ini kabur hingga masuk jauh ke tengah hutan. Jauh dari pemukiman warga. Menerima ubi bakar, Seokmin mengupasnya dengan hati-hati. Kebaikan Chan ini tentu tidak membuat Seokmin urung untuk memberi teguran. "Kebiasaan. Tidak baik. Ibumu pasti khawatir mencarimu. Berjanjilah setelah makan nanti kamu akan langsung pulang ke rumah."
"Hyung tidak mengerti..." Chan meringis di sela-sela suapannya. Mengerucutkan bibir. Khas seorang bocah yang sedang sedih jika tidak dibelikan mainan. "Aku merasa seperti anak pungut selama di rumah. Tiap jam dimarahi, padahal bukan salahku. Ah, ya... Aku baru ingat. Hyung kan cucu kesayangan kakek. Mana mungkin pernah merasakan bagaimana kejamnya jika orangtua sedang marah. Seperti monster!"
Seokmin berhasil makan siang dengan sangat baik berkat bertemu Chan. Kenyang, Seokmin tidak mau membuang-buang waktu lagi. Memperkirakan waktu. Apa pun yang terjadi, ia harus menemukan pohon ajaib yang kakeknya ceritakan kemarin, sebelum senja dan langit menjadi gelap. Namun sebelum melanjutkan perjalanan, tentu Seokmin tidak lupa untuk memberi Chan banyak peringatan. Langsung pulang, jangan pergi ke mana-mana lagi. Berada di tengah hutan terlalu berbahaya.
Seokmin kira, Chan mau menuruti ucapannya. Bergegas ia semakin jauh masuk ke dalam hutan usai membantu bocah lelaki berumur 12 tahun itu mematikan api. Nyatanya Chan malah secara diam-diam mengikuti Seokmin. Membuat pemuda Lee itu panik setengah mati. Misi Seokmin terlalu berbahaya untuk dilakukan bocah di bawah umur.
"Ayolah, hyung... Aku mohon... Kali ini saja..." Chan terus berusaha membujuk. "Aku janji. Jika kali ini aku diizinkan ikut dengan hyung, aku tidak akan pernah kabur dari rumah lagi," kata Chan lagi, sambil mengangkat jari kelingkingnya. Mengikat perjanjian.
Tentu Seokmin masih ingat dengan ucapan kakeknya. Pintu menuju langit yang ada di salah satu ranting pohon itu tidak akan pernah bisa dilihat oleh manusia biasa. Itu artinya Chan tidak mungkin pernah bisa melihat pintu tersebut. Jadi bagaimana caranya Seokmin menjaga Chan selagi ia berada di langit?
"Hyung... Aku mohon... Aku berjanji tidak akan nakal lagi."
"Kamu tidak tahu apa yang kucari, Lee Chan-ah! Kamu tidak akan pernah melihat apa yang kucari. Di sana tidak ada yang menjagamu selama aku pergi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
White Castle (✓)
Fanfiction[SEOKSOO GS Fanfiction] Seokmin kecil tidak percaya red string. Bahkan ia sempat menertawakan istilah yang terdengar konyol ini. Dan seiring berjalannya waktu, sebagai Si Pemuda Pencari Kayu Bakar, kepercayaannya berubah sejak menemukan sebuah kasti...