5 | Pekan Seni (2)

16 3 1
                                    

Setelah satu minggu berlalu, hari ini perayaan pekan olahraga berakhir. Sama seperti pembukaan, seluruh siswa-siswi tetap bersemangat merayakan penutupan acara ini. Seluruh siswa-siswi berkumpul kembali di theater untuk menutup acara.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa Pa Tifan dengan semangat.

Seluruh siswa-siswi menyahuti tidak kalah semangat.

"Hari ini kita akan melaksanakan acara  penutup pekan seni sekolah yang ke lima belas," ucap pa Tifan. "Sebelumnya, kita  mau menyaksikan teman-teman kita dari anak band."

Para siswa bertepuk tangan, bersiap menyaksikannya. Mereka menyaksikannya dengan semangat. Begitu juga dengan Raina. Matanya tertuju pada lelaki yang tengah bermain piano. Gadis ini terus memperhatikannya, menyipitkan matanya terus menyelidiki lelaki itu.

"Del, kamu tau nggak itu yang main piano siapa, ya?" Raina akhirnya memberanikan diri bertanya pada Adel di sebelahnya.

Adel reflek menoleh. "Itu kak Alvaro, kelas sebelas IPS dua, Rai," sahutnya. "Kenapa? Lo suka?" tebak Adel.

Raina menggelengkan kepalanya, keduanya kembali terfokus pada penampilan anak band di depan. Tanpa Raina sadari, Alvaro tengah memberikan senyumannya pada Raina yang membuat gadis ini tersipu malu.

Selesai sudah penampilan band itu, pak Tifan kembali berdiri di panggung. "Kali ini, saya akan mengumumkan pemenang lomba selama satu pekan ini," ucapnya yang mendapat sorakan serta tepuk tangan dari pada murid.

Tanpa disangka, nama Raina terpanggil menjadi pemenang lomba cerdas cermat mewakili kelas 10-3. Setelah selesai mengumumkan pemenang, seluruh siswa-siswi di izinkan meninggalkan theater.

"Selamat, Raina!" Sekar memberikan ucapan antusias.

Ara tidak kalah bangga. "Temen gue pinter juga," pujinya. "Selamat, Rai!"

"Semangat terus, ya, Rai. Kita selalu dukung lo." Giliran Adel memberikan pujian.

Raina tersenyum. "Makasih, ya. Ini semua juga berkat dukungan kalian," sahutnya.

"Bisa aja, Rai." Sekar tertawa. "Yu ah balik, gue udah di jemput njhw, btw. Duluan ya?" pamitnya melambaikan tangan.

"Kar!" panggil Ara. "Ikut dong, searah kan?" izinnya. Ara dan Sekar sering pulang bareng karena rumah mereka memang satu arah. Setelah mendapat persetujuan, keduanya pergi ke tempat parkir.

"Lo pulang sama Nevan?" tanya Adel. Keduanya kini berjalan menuju kantin.

Raina menganggukkan kepalanya. "Kamu sama siapa?"

"Sama bokap," sahutnya. "Ke lapangan basket aja yuk, Rai," ajak Adel. Raina mengangguk antusias, walaupun gadis ini tidak begitu tertarik pada lelaki yang ada di sekolah ini.

Keduanya tengah menatap kearah lapangan. Disana, mereka melihat seorang gadis tengah mendekat ke arah Nevan seraya memberikannya minum serta menyeka keringat Nevan. Tapi sayangnya, Nevan menolaknya. Entah karena keberadaan Raina disana atau memang Nevan seperti itu.

"Hai," sapa Nevan pada Adel serta Raina. "Liatin gue, ya?" tanyanya dengan percaya diri.

Adel bergidik ngeri. "Liat cogan dan bukan lo!" ketusnya.

"Van!" panggil pelatih basket tersebut membuat lelaki ini menoleh. Lelaki ini pamit dan kembali ke lapangan basket.

Ponsel Adel tiba-tiba berbunyi, gadis ini tidak mengetahuinya karena asik menontoni siswa yang tengah bermain basket di lapangan. Raina memberi tahunya, setelah memberi tahunya Adel berpamitan pada Raina.

Kini tersisa dirinya bersama dengan siswi yang sibuk memberi semangat. Raina tidak tertarik sama sekali. Gadis ini memilih menyumpalkan earphone pada telinganya seraya membaca novel yang selalu ia bawa.

Seketika earphone yang ia gunakan terlepas. Dengan kesal, gadis ini mengangkat kepalanya. "Baca novel apa?" tanya lelaki itu.

Raina panik bukan main, lelaki ini adalah lelaki yang menolongnya di toilet.

"Kalo ditanya itu jawab." Lelaki ini mendudukan dirinya disebelah Raina. "Kayaknya rame," ucap lelaki ini. "Gue pinjem boleh?" izin lelaki ini. Belum mendapat jawaban, lelaki ini sudah mengambil novel yang Raina baca.

"Tunggu—"

Lelaki itu pergi tanpa izin, sudah mengambil novelnya tanpa izin kini juga pergi tanpa izin. Rasanya kesal, namun Raina juga harus berterima kasih padanya. Raina menghela nafasnya. Melirik jam yang melingkar di tangannya. Kini, sudah menunjukkan pukul 16.00. Tidak lama kemudian, Nevan menghampirinya. Lalu segera mengajaknya pulang.

***

"Rai, sorry tadi gue biarin lo nunggu lama."

Keduanya tiba di halaman rumah Raina. Nevan meminta maaf telah membuat Raina menunggunya lama. "Nggak pa-pa," sahut Raina.

Nevan tersenyum mendengar jawaban Raina. "Kalo gitu gue duluan, ya," pamitnya.

"Nggak masuk dulu?"

"Nggak, titip salam buat bunda, ya." Nevan menyalakan mesin motornya.

"Hati-hati. Makasih, ya, Van." Raina melambaikan tangannya.


   

****
Gimana pensaran ga sama kelanjutannya?

Jangan lupa vote, comment dan share

Raina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang