~ menentang rasa ~

9.3K 884 40
                                    

"Jadi aku melewatkan banyak hal nih?"
Tanya Gisel saat aku selesai sholat shubuh. Semalam Gisel bilang kesini jam setengah 2 malam dan aku baru sadar kehadirannya satu jam kemudian. Aku benar-benar tidak tau lagi caranya bersyukur punya sahabat sebaik Gisel.

"Apaan?"

"Semalam, yang tidur di sofa??" Tanyanya lagi sambil menyenggol lenganku.

"Hah? Emang siapa?"

"Semalam waktu aku sampai ada dokter yang tidur di sofa nemenin kamu! Tau gitu aku gak usah kesini aja, malah gangguin malam romantis kalian!"

"Jangan berlebihan deh Gis!"

"Beneran, terus dia denger aku datang langsung bangun. Tanya aku siapa, awalnya agak gak percaya gitu sama aku, terus aku tunjukkin wa dari mama kamu, baru dia pamit pulang. Gentle banget sih Lin! Sumpah cocok banget kalian, dia muka bangun tidur aja gantengnya gak luntur. Akhirnyaaaaa, Ralin gue punya pacaar!!"

Gisel terus nerocos sambil memelukku yang masih bingung. Masa sih Mas Nazril semalam nungguin aku? Ah mungkin cuma ketiduran.

"Pacar apaan Gis! Ngawur kamu! dia itu dokter sini. Mungkin ketiduran aja dia!"

"Ya terus kenapa ketidurannya milih di sini? Kan bisa di UGD atau di kamar mayat sekalian. Ayolah beb, please!! Udah waktunya kamu pikirin kebahagiaan sendiri, jangan sibuk dengan kebahagiaan orang lain terus!

"Kamu yang terlalu jauh berimajinasi darling!! Aku beneran cuma sebatas rekan kerja."

"Okay dear! but Your eyes can speak a thousand words, even if no words are said! Bener kan?"

"Too much questions, Gis!"

Dia tertawa lalu memegang tanganku.
"Lin, aku tau apa yang kamu alami selama ini bukan hal yang mudah. Tapi kamu juga butuh bahagia beb! Jangan tolak orang-orang yang mendekat, gak semua orang sama kaya papa kamu Lin!"

Aku hanya menghela nafas, aku gak mau berharap dengan orang lain! Setakut itu aku mencoba percaya sama orang lain dan akhirnya akan ditinggalkan lagi.

"Jangan paksain Beb! Senyaman kamu aja ya! Aaku yakin ada kok lelaki yang tulus buat kamu nantinya. Semangat Ralin gue yang cantik!!"

Gisel dan mama, dua wanita ini yang terpenting dalam hidupku. Yang selalu ada kapanpun aku butuh bahkan di saat aku dititik paling lemah.

Gisel pamit pulang lagi, dia bersikeras akan balik ke sini siang nanti tapi aku melarangnya karena Pagi ini aku sudah boleh pulang. Aku menyuruhnya ke rumah saja saat acaranya sudah selesai. Bagaimanapun aku gak mau ganggu perayaan hari besarnya.

Mbak Anggi masuk dengan membawa peralatan untuk melepas infusku, diikuti dr.Reza yang ceritanya akan visit, tapi malah langsung merebahkan diri di sofa.

"Gue harus ikuti cara lo Lin biar bisa tidur nyenyak semalam aja, lumayan!"

"Ngawur  Za! gue beneran pingsan kali!" Protesku

"Haha, dari tadi itu minta gantian katanya sama dokter!" Sahut mbak anggi

"Udah sehat kan Lin? Buruan pulang, nambah-nambahin kerjaan kita aja sih! Awas lo pingsan lagi!" 

Aku dan Mbak Anggi tertawa melihat Reza yang terus saja mengomel, orang ini selalu kasih perhatian dengan cara unik. Seperti saat ini, aku tau dia sengaja ngalihin perhatianku karena tahu Mbak Anggi akan mencabut infusku, mungkin agar aku tidak kesakitan padahal ya rasanya gak sakit-sakit amat.

"Udah Dok! Mau langsung pulang?" Tanya Mbak Anggi.

"Iya Mbak, mau lanjut tidur di rumah!" Jawabku dengan menekan kata tidur bermaksud meledek Reza yang sepertinya sudah terlelap di sana.

5. (a)Gus Nazril Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang