~ lembaran baru ~

9.3K 859 37
                                    

Mas Nazril benar-benar menjemputku di minggu pagi ini, tapi kali ini aku lebih santai karena dia mengajak murid favoritku, Ilyas. Tadi dia juga meminta izin sama Mama, dan sepertinya mama juga sudah mengetahui rencana Mas Nazril sebelumnya.

"Ilyas emang gak rewel kalau ikut tapi gak sama Bundanya?"

"Lo mau kita berdua aja apa gimana ini maksudnya?"

"Buayanya keluar!"

Dia tertawa lebar lalu sebelah tangannya mengusap rambut Ilyas yang ada di pangkuanku.

"Ilyas sama gue lengket banget, asal dibawain susu aman dia. Malah dia yang nangis pengen ikut tadi, gue pikir lo udah tahu Ilyas dan gak akan keberatan kalau dia ikut."

"Sama sekali enggak Mas! Kangen sama anak ini, udah lama gue gak main ke sekolah!"

"Itu Lo yang kebangetan, di depan rumah doang gak pernah main. Kalau gue jadi lo, gue pilih jadi gurunya anak-anak atau enggak jadi pengasuh!"

"Haha, segitu sayangnya sama anak-anak!"

"Gak tau juga, mungkin efek sering banget kumpul keponakan gue yang banyak banget. Dulu sebelum Ilyas lahir ada tuh ponakan gue yang juga lengket banget, namanya Alfa. Tapi sekarang sama abang gue udah dimasukkin pesantren, jadi jarang ketemu. Gantilah si Ilyas ini!"

"Umur berapa emang?"

"Berapa ya, sampai lupa. Haha! Udah SD kok dia!"

"SD udah di masukin pesantren?" tanyaku.

"He-em, abang gue emang punya prinsip hidup kuat. Dia punya target di setiap umurnya harus ngapain untuk keluarganya. Dia siapin banget tuh masa depan anaknya!"

Aku hanya bergumam, suka salut aja kalau ada orangtua yang benar-benar menyiapkan masa depan anaknya. Kalau aku juga akan begitu, anakku tidak akan pernah aku biarkan merasakan apa yang aku alami.

"Lin!" Mas Nazril memetik jarinya di depan wajahku dan Ilyas ikut heran menatapku yang gelagapan.

"Gue nanya tadi Lin, kalau lo gimana sama anak-anak lo nanti!"

"Oh.. ya pada prinsipnya sama kan Mas? Semua orangtua akan mengusahakan yang terbaik buat anaknya, gue juga. Gue akan pastiin anak-anak gue besok akan mendapat kasih sayang dan perhatian penuh, gue akan biarkan anak-anak gue tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhannya, gue gak akan memaksakan anak-anak gue harus jadi apa, gue akan terus membesarkan hati mereka. Gue mau yang terbaik untuk hidup mereka!"

Mas Nazril menghentikan mobilnya di lampu merah lalu memiringkan tubuhnya menghadapku.

"Itu yang selama ini gak lo dapet ya Lin?"

Aku terdiam cukup lama, untuk kesekian kalinya aku cukup terkejut dengan responnya. Gak tau kenapa kehadiran Mas Nazril perlahan bisa mengubah mindsetku bahwa masih ada orang-orang yang punya rasa empati pada orang lain tidak malah merendahkan nasib orang lain. Aku hanya mengutarakan keinginanku untuk anak-anakku besok tapi gak nyangka aja dia menangkap maksud lain dari kalimatku.

Mas Nazril mengangguk dan tersenyum lalu mulai menjalankan mobilnya lagi. Setelah moment yang cukup awakward tadi, dia tidak mengejar jawabanku. Dia malah mengajakku bicara hal lain yang cukup tidak berbobot. Aku cukup surprise aja mendapati kenyataan bahwa seorang yang terkenal cool, smart dan berwibawa seperti Mas Nazril bisa bertingkah konyol dan yang lebih parah dia tahu berita artis yang sedang cerai, menikah atau ganti pacar, bener-bener absurd ini orang. Dan satu hal lagi, aku merasa nyaman berteman dengannya.

Mas Nazril menghentikan mobilnya di sebuah gang pedesaan lalu turun dan memutari mobilnya membukakkan pintu penumpang untuk mengambil Ilyas dari pangkuanku.

5. (a)Gus Nazril Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang