jika aku dan kamu tidak bisa tulus maka kesetiaan itu juga akan hancur
Clary hampir merasa seperti boneka pajangan dengan banyaknya mata menatap padanya. Dia sulit untuk bergerak atau bahkan bernapas.
"Chester?" pria dengan wajah bijaksana dengan rambut putih juga wajah yang tampak seperti lukisan retak meski mata berwarna birunya terlihat mempesona diusianya, Bertanya dengan rasa tidak percaya, "Chester keluarga pengelelola perusahaan property terbesar dinegara ini?"
Clary mengangguk kaku. "Ya, saya anak dari Mikhael. Anak ketiga kakek Chester."
Perempuan yang diketahui Clary ibu dari Aaric segera bertanya dengan antusias. "Lalu bagaimana kalian berdua bertemu? Sejauh apa hubungan kalian? Apakah Aaric pernah menyakitimu?"
Clary baru setengah membuka mulutnya tapi tiba-tiba saja ruang makan ini menjadi ramai oleh pertanyaan.
"Kau benar-benar kekasih Aaric?" Pria berambut hitam ikal bertanya.
"Berapa umurmu?" Tanya gadis berambut hitam pendek bergelombang.
"Kau punya akun sosial apa saja?" Pria yang tadi teriak paling keras bertanya.
"Kau pakai rambut asli?" Tanya gadis berkulit pucat.
"Kapan kalian menikah?!" Pertanyaan terakhir itu berhasil mengalihkan semua perhatian Clary pada setiap pertanyaan acak itu.
Clary tidak bisa menyembunyikan mata tidak setujunya pada pria berambut hitam hampir menyentuh bahunya. Bagaimana bisa dia tanyai kapan menikah pada situasi tidak jelas ini, bahkan hubungannya dengan Aaric sama sekali tidak jelas.
Tapi Clary hanya bisa diam mematung. Dia bingung harus mengatakan apa? Bagaimana? Gadis itu melirik Aaric dari beberapa helai rambut sampingnya. Pria terkutuk itu justru tengah duduk tenang menikmati secangkir minuman dalam gelas yang berwarna merah.
Kesal dengan ketenangan pria terkutuk itu, Clary menendang kaki Aaric dari bawah meja. Jika Aaric terlihat terkejut atau merasa sakit, pria itu sama sekali tidak menunjukkannya hanya wajahnya yang menoleh dengan mata perak menatap Clary.
"Pernikahan," Aaric berkata dan Clary mengharapkan jawaban yang bagus. "Aku menyerahkan kapannya pada Clary." Si terkutuk sialan!
"Benarkah?" Laury wanita yang berusia hampir menyentuh lima puluhan itu bernada selayaknya remaja yang ceria. "Jadi kalian akan menikah?" Dan mata penuh kebahagian itu skak matt nya menatap Clary penuh harapan.
Clary rasanya ingin sekali mengambil botol didepannya dan melemparkannya pada mulut terkutuk Aaric. Dengan leher terasa tercekik tapi suara berat yang penuh wibawa mengatakan, "Kenapa kalian sudah membahas hal seperti ini," Maxleon menggelengkan kepalanya. "Seharusnya kita saling memperkenalkan diri dulu, aku yakin ini membuat Clary canggung bukan?" Tanyanya. Clary membalas dengan senyuman kaku.
"Sebelumnya kenalkan aku adalah Ayah Aaric, Maxleon. Kau bisa memanggilku Ayah jika mau," Katanya dengan nada yang benar-benar hangat. "Lalu ini istriku, Laury. Ibu Aaric, Kemudian Ace, " Tunjuk Max pada Ace yang terseyum singkat, "Lalu Alvis, anak kedua," Alvis tidak terseyum dia hanya diam. "Lalu Austin anak keempat," Austin pemuda dengan wajah paling muda diantaranya melambaikan tangan dan memasang senyuman lebar. "Alodie, anak termudaku," Alodie terlihat menggerakkan kepalanya seperti boneka.
"Dan yang terakhir Allison dia adalah anak temanku, dia tinggal bersama kami saat ini." Allison terlihat terseyum kaku pada Clary.
"Jadi Clary ceritakan tentang dirimu," Laury menunggu dengan semangat.
"Tentang diriku?" Clary membeo. Apa yang dapat diceritakan tentangnya? "Aku anak ketiga..."
"Ketiga?" Aaric bertanya heran. Setahunya Clary hanya mempunyai satu saudara perempuan.
Clary melirik Aaric kembali. "Semua orang berpikir jika aku anak kedua dan itu memang terlihat seperti itu tapi sebenarnya aku pernah memiliki saudara laki-laki tapi kata Mom saat aku baru berusia lima bulan dia meninggal di usia dua tahunnya."
♥♥♠♠
Clary menggaruk kepalanya benar-benar bingung saat Laury memaksa agar menginap, dia berusaha mencari alasan tapi sekali lagi si terkutuk Aaric mengacaukannya dengan berkata bahwa Ayahnya memberikan ijin.
"Ada apa dengan tatapanmu itu?" Si terkutuk Aaric bertanya dengan geli, padahal pemuda itu pasti tahu persis apa membuat Clary menatapnya tajam.
"Kenapa kau terus mengatakan kata menikah?"
Sebelah alis Aaric terangkat. Clary semakin kesal padanya karena dia tak bisa melakukan hal tersebut.
"Ayahmu sangat antusias jadi aku menghargainya."
"Kau bisa mengabaikannya."
"Hmm, asal kau tahu saja jika akhir-akhir ini Ibuku hampir menggila tentang pernikahan."
"Dan kenapa harus aku?" Clary menatap Aaric semakin menusuk. Matanya terus menyelidik semua gerak-gerik Aaric, sedikitnya berusaha membaca tentang permuda itu. "Kau maupun aku belum lama bertemu dan kita tidak terikat perasaan khusus."
Aaric menatap Clary dengan tatapan yang sulit diartikan. Menjadikan ruangan itu mendadak kosong.
Clary yang menunggu Aaric terus menatapnya dalam diam akhirnya bersuara. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentang pernikahan tapi asalkan kau tahu saja ya,"
Mata Clary tidak lagi menusuk dan suaranya lebih direndahkan, ini bisa membuat Aaric agar lebih memahami apa yang akan dia katakana.
"Pernikahan bagiku adalah hal yang sacral, aku mengagapnya penting dan sangat bermakna yang tidak bisa terjadi secara gampang. Itu juga bukan sebuah lelucon ataupun permainan. Karena bagiku pernikahan adalah dimana saat kita telah mengambilnya maka kesetiaan, ketulusan, penerimaan, dan perasaan kita harus diberikan kedalamnya. Sudah bukan lagi hubungan kasat mata."
"Jadi," Clary sedikt mendekat kearah Aaric yang tengah bersandar pada meja. "Kumohon mari kita pikirkan lagi hal ini karena aku masih belum memiliki perasaan padamu maka aku tidak tahu apakah kelak bisa menerimamu dan juga apakah aku bisa tulus berada disampingmu, jika aku dan kamu tidak bisa tulus maka kesetiaan itu juga akan hancur."
-----------
Thanks For Vote And Comment
AngelicDevil22
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is A Murderer
Romance"Aku melangkah dengan cahaya terang dan kau melangkah dengan kegelapan." - Clary Chester "Setiap aku melangkah aku pasti akan melihat tubuh-tubuh tergeletak bermandikan darah, aku manusia yang hancur saat terkena cahayamu tapi aku menginginkamu untu...