Cara Licik

196 20 6
                                    

"Dia lebih tahu cara mencipta bahagia tanpa menggunakan cara licik!"
-

○●○●○

Cahaya tamaram. Itulah yang pertama dilihat ketika kedua kelopak mata Ainun terbuka--setelah tadi mengerjap beberapa kali. Ia meringis, merasakan pening di kepala yang amat luar biasa.

Di mana Ainun berada?

Sekiranya hanya itu yang ada di batin Ainun. Gadis itu mengingat separuh kejadian yang menimpa dirinya beberapa menit lalu, tapi ia tidak tahu berada di mana dirinya sekarang. Ainun mendongkak pandangan ke atas, terlihat lampu tua menyinarinya, tetapi di sekitaran sangat gelap. Tangan dan kaki Ainun juga terikat ke depan.

"Tolong!" Pekik Ainun, ia bisa berteriak karena tak ada kain lagi yang menyekapnya. Entah penculik itu bodoh atau memang pelupa.

"Siapapun tolong!" Pekik Ainun kembali yang menbuat gema di ruangan gelap itu. Tangannya tak tinggal diam untuk melepas ikatan, tetapi itu sangat kencang sekali.

Rasa takut mengantui gadis itu, di kala suara langkah berat terdengar mendekat. Mata Ainun kemudian menangkap sosok tubuh tegap dengan wajah yang tak asing lagi untuk Ainun. Dia?

"Wiliam?"

"Yes, it's me. Saya pikir kamu tak akan mengenali lagi." Tuturnya dengan santai seraya melangkah semakin mendekat ke arah Ainun, lalu berjongkok. Wiliam menatap Ainun begitu lekat, tapi dengan sigap gadis itu membuang pandangan.

"Kamu yang menculikku?!" Tanya Ainun dengan sedikit rasa muak.

"Lebih tepatnya melepaskanmu dari penderitaan."

Ainun mengerutkan dahinya, bingung. "Apa maksudmu?"

Wiliam tertawa nyaring, lalu tanpa sopan mencengkram rahang Ainun. "Jangan munafik, baby. Ini yang kamu inginkan, bukan? Terbebas dari perjodohan gila itu?"

Detik berikutnya Wiliam bangkit berdiri seraya melepas cengkraman tersebut dengan kasar, sungguh ini bukan seperti Wiliam yang Ainun kenal.

"Kita akan pergi ke Australia dan menikah di sana. Bagaimana? Ide yang bagus bukan?"

Ainun menatap tak percaya pada pemikiran pria yang dulu sangat ia cintai ini, "caramu begitu licik, Wiliam! Lepaskan aku!"

Alis tebal Wiliam terangkat, heran. "Ada apa ini? Kenapa Ainun yang dulu berambisi kini menjadi seperti ini? Apa sih yang kamu harapkan pada pria cacat macam Ahsan itu?!"

"Setidaknya dia lebih tahu cara mencipta bahagia tanpa cara licik sepertimu!"

Plak!

Tamparan mendarat di pipi mulus Ainun, lalu detik berikutnya bulir air mata jatuh memberi tambahan perih di sana. Wiliam telah menamparnya. Selama ini tidak ada yang melukai pipi mulus Ainun, namun sekarang tangan angkuh itu telah memberi bekas merah.

"Kamu jahat Wiliam!" Cetus Ainun.

Wiliam sendiri mengatur nafasnya, ia sudag tersulut emosi. Sebenarnya tak ada niat untuk melukai, tapi yasudahlah menurutnya Ainun pantas mendapatkan tamparan itu.

"Sebentar lagi jam penerbangan kita ke Australia. So, jangan banyak merancau hal tidak jelas," bisik Wiliam. Nada suaranya begitu mengandung arti ancaman.

"Lepaskan aku Wiliam! Aku tidak mau ikut denganmu!" Jerit Ainun ketika Wiliam mulai melangkah menjauh, hilang di kegelapan.

Kini, hanya tangisan Ainun semakin kuat. Dia sungguh tidak mau pergi. Dulu memang Ainun mencintai Wiliam dan ingin menikah dengan pria tersebut, namun sekarang ketika melihat sikap kasar Wiliam membuat Ainun benci.

Unconditional LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang