Bukan memulai, tapi melanjutkan.
-○●○●○
"Bagaimana menurut kamu, Sayang?" Hening. Pertanyaan yang dilontarkan Ahsan tak kunjung mendapat jawaban, sang penanya pun akhirnya mendongak dan menatap wanita yang beberapa bulan lalu ia halalkan tersebut.
Sebelah alis Ahsan terangkat ketika sang istri yaitu Ainun malah melempar pandangannya ke arah luar. Jadi sendari tadi Ahsan bicara sendiri? Pria itu tersenyum tipis, kemudian mengikuti arah pandangan Ainun. Tepat di sana seorang ibu tengah menenangkan anaknya, lalu seperti berbicara sesuatu dan anak itu tertawa seraya memeluk sang ibu dengan riang.
Oke, Ahsan paham sekarang. Ainun pasti kini sedang membayangkan dirinya tengah berada di posisi wanita paruh baya itu. Ahsan tersenyum tipis kembali, lalu menegur Ainun secara halus. "Kenapa kamu menatap si ibu itu?"
Akhirnya Ainun menoleh ke arah Ahsan, sembari menampakan gigi putihnya. Ia meringis, "tidak apa-apa. Aku hanya membayangkan jika aku dipeluk seorang anak dan memanggilku dengan sebutan ibu."
Ahsan tersenyum kaku, lalu menghembuskan nafas dengan lirih. Ainun selalu saja seperti ini, semenjak hubungan mereka membaik Ainun mempunyai impian baru. Entah selama ini Ainun berkode padanya untuk segera hamil, tapi Ahsan sendiri menunda karena sebuah hal.
"Mas, sampai kapan kita harus menunggu? Besok aku sudah mulai diwisuda dan kita tidak tahu umur kita sampai kapan. Aku hanya ingin rumah kita ramai oleh tawa kecil mereka." Ainun berujar dengan serius sembari menatap Ahsan, yang tampak menyedot minumannya. Memang seharusnya Ainun tak membicarakan hal ini di sebuah tempat umum seperti Cafe, tapi keinginan Ainun itu selalu saja tak dapat tertahan.
"Akan ada nanti saatnya. Sabar ya." Selalu saja itu jawaban Ahsan. Ainun menyenderkan punggungnya ke kursi, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Begitu saja terus. Kenapa sih harus nunda? Aku gak keberatan ko jadi ibu rumah tangga."
"Kamu tahu bagaimana keadaanku sekarang seperti apa?" tanya Ahsan.
Ainun menegakan tubuhnya kembali seraya mengerutkan dahinya. "Apa hubungannnya?"
Ahsan menghembuskan nafas dengan berat, "aku gak mau anak kita nanti tahu ayahnya dengan keadaan seperti ini. Aku gak mau membuatnya malu."
Gadis berhijab hitam itu mulai melemah, emosinya tak jadi untuk meletup-letup. Pernyataan Ahsan sangat di luar dugaan Ainun. Jadi, pria ini masih tak percaya diri?
"Mas, jangan beranggapan sesuatu yang belum terjadi. Aku, orang tuamu, orang tua aku, dan bahkan Allah sendiri bisa menerima kekurangan kamu, jadi bagaimana mungkin darah daging kita tidak bisa? Di mana rasa percaya diri Mas? Di mana Ahsan yang dulu? Ah, sepertinya aku tengah berbicara pada orang lain."Mendengar kalimat terkahir Ainun, Ahsan terkekeh kecil. "Istriku ini kalau sudah punya keinginan, selalu saja diperjuangin. Bikin gemas saja."
"Ih, ada juga aku yang gemas sama pemikiran Mas itu!" Ainun membulatkan bibirnya, dan hal itu malah semakin menambah rasa gemas Ahsan.
"Oke, oke, nanti kita bicarakan lagi. Jangan di tempat umum gini, bahaya banyak jomblo," ujar Ahsan dengan memelankan suara. Ainun tertawa mendengarnya. Ini lah kebiasaan baru Ahsan, selalu bergurau, meski gurauannya itu kadang adakalanya benar.
○●○●○
Usai sudah tugas Ainun berbakti pada Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, kampus tempatnya mengeyam ilmu dan mendapatkan gelar luar biasa. Hari ini, Ainun telah melepas statusnya sebagai mahasiswi.
Baru saja beberapa menit yang lalu, ia dinobatkan dengan berbagai gelar. Ainun merasa bersyukur, masih bisa mengeyam ilmu sejauh ini, dengan segala masalah kehidupan yang mengecam ia mampu melewatinya sampai ke titik ini.
Ainun menghembuskan nafas lega seraya mengucap syukur, lalu mengedarkan pandangannya ke aula luas yang dipenuhi mahasiswi dan mahasiswa memakai toga. Mereka pun tampak menyambut suka cita hari wisuda ini, sama seperti Ainun.
Balutan kebaya di antara baju wisudawati, Ainun tampak sekali memancarkan kecantikannya. Apalagi ketika seulam senyuman terpatri indah, di saat ia menemukan sosok yang ia cari sendari tadi. Ainun segara menghamipiri, dan lalu berlutut.
"Selamat, istriku. Semoga ilmu yang didapat membuat manfaat pada hidupmu." ucapan selamat Ahsan membuat Ainun semakin melebarkan senyumannya. Ia menerima buket bunga yang terdapat beraneka macam bunga tersebut dari Ahsan. "Terima kasih. Amin ya Allah."
"Kamu membuat orang tuamu di sana bangga, Ainun," ujar Ahsan, kembali. Pria itu masih setiap menatap sang istri dengan begitu bangga, dan haru. "Maaf ya, aku telat. Tadi macet sekali." raut bersalah terlihat di wajah Ahsan kini.
Ainun tidak marah atau pun merajuk, ia malah menggeleng cepat. "Tidak apa-apa. Mas sudah menyempatkan datang ke mari pun, aku sudah senang."
"Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Hem, sebagai perminta maaf aku dan hadiah kelulusanmu ini, kamu boleh meminta apa pun kepadaku. Bagaimana, mau?"
"Boleh!" Gadis itu menyahut dengan semangat.
"Kamu mau apa?"
Ainun tersenyum penuh sesuatu, "anak!" Lalu menaik turunkan alisnya.
Hampir saja Ahsan tertawa kencang mendengar pemintaan Ainun tersebut, tapi berusaha ia tahan. Benar apa kata ayah mertuanya, kalau Ainun sangat berambisi pada keinginannya. Lihatlah sekarang, biasanya wanita suka malu-malu mengungkapkan hal itu, tapi Ainun begitu semangat dan lantang memintanya. Masyallah.
"Yaudah ayo!" seru Ahsan tak kalah semangatnya sekarang. Tapi hal itu sangat ambigu bagi Ainun, sehingga membuat ia meringis pelan seraya mencubit pinggang Ahsan. "Masih siang, ih!"
"Aish! Aku memang mau mengajakmu ngapain? Orang mau ngajak ke dokter kandungan untuk konsultasi." tanya Ahsan seraya menaikan sebelah alisanya, lalu tersenyum penuh ejekan. "Hayo kamu mikir yang enggak-enggak ya?"
Seketika pipi Ainun bersemu merah bagai kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Enggak ih!" serunya sembari menutupi wajah karena malu.
Sontak saja tawa Ahsan pecah, bahkan pria itu sampai berkaca-kaca akibatnya. Ini momen langkah, di mana pipi Ainun bersemu karenanya.
Semesterius takdir tak akan bisa menyembunyikan terlalu lama sebuah kenyataan, dan sekarang hal ini telah terjadi pada kisah Ainun dan Ahsan. Keduanya tak pernah berpikir akan disatukan, meski beberapa kali ego dan ambisi memisahkan.
Ada yang bilang bila sepasang hamba saling mendoakan di sepertiga malamnya, maka akan cepat terkabul doa dan disatukan pada keromantisannya. Tapi, hal itu tidak terjadi pada kedua insan ini. Hanya Ahsan yang melangitkan nama, namun pada akhirnya Allah mendengar serta mengabulkannya dengan tak kalah romantis.
Percayalah kesempurnaan akan didapat jika kita mampu melihat hatinya, bukan raga atau harta. Hati sebaik-baiknya kesempurnaan yang nyata.
End
○●○●○
Allhamdulillah. Semoga cerita yang kutulis dapat membuka hati siapa pun untuk tidak selalu melihat sisi kesempurnaan fisik seseorang dalam mencintai ataupun menjalin silaturahmi.
Akhir kata, aku ucapkan terima kasih kepada Allah dan para pembaca setia cerita UL ini, baik yang meninggalkan jejak ataupun tidak.
Oh iya, tak ada ekstra part ya. Karena cerita ini akan aku ikutkan seleksi terbit, doakan semoga lolos😋
Love you❤
Awal: 06, Juni 2020
Akhir: 20, Agustus 2020__________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Love
SpiritualIni tentang dia yang mengajarkanku arti kesempurnaan sesungguhnya, yaitu kesempurnaan cinta. Dia pun membawaku pada sebuah fakta, bahwa cinta tidak membutuhkan akan syarat. Karena cinta itu hadir karena hati bukan rupa. Ketanpabersyaratan cinta itu...