Aku pikir keegoisan ini akan menuai bahagia, tapi ternyata malah mengukir luka.
-○●○●○
"Ini semua gara-gara kamu!" Cecar wanita paruh baya yang penampilannya sudah tak karuan. Ia marah, ia khawatir, ia takut. Semua berpadu-padan tanpa ampun ketika melihat sang putra sudah terbaring tak berdaya."Kurang baik apa Ahsan padamu, Ainun?! Apa salah anak saya selama ini? Kenapa kamu tega mengancurkan kepercayaan saya." Ghina menutupi wajahnya dengan tangan kemudian terisak penuh sesak.
Sementara Ainun, gadis yang menjadi penyebab atas kekacauan itu sudah terduduk lemas dengan air mata tiada henti. Ainun diam tanpa pembelaan ketika Ghina--sang ibu mertua--mencaci dan mencecarnya dengen pertanyaan yang menyayat hati Ainun sendiri. Suara kardiograf yang ada di ruangan itu pun kalah cepat dengan detak jantung Ainun kini.
Ini semua salah Ainun. Iya, gadis itu tidak menampiknya. Jika saja ia tidak bersikap kekanak-kanakan dengan pergi dan berlari, mungkin saja Ahsan tak akan mengikuti dan tak akan sampai berbaring di rumah sakit dengan segala alat kesehatan menempel di tubuhnya. Ainun menyesal.
Menyesal dalam arti ingin mengulang waktu dan menyelesaikan hubungan itu secara baik-baik. Walaupun dalam kondisi seperti ini, perasaan Ainun tidak lah berubah, niatnya masih sama, yaitu ingin menyelesaikan kisahnya dan Ahsan yang seharusnya tidak terukir.
"Saya berharap besar sama kamu Ainun, saya pikir kamu dapat menjadi pendamping terbaik untuk Ahsan. Namun ternyata saya melupakan sebuah fakta, bahwa kamu juga perempuan yang pasti ingin hidup bersama laki-laki sempurna. Sedangkan Ahsan, putra saya itu berbeda, tapi dia spesial untuk saya."
Lagi. Semua orang lagi-lagi menganggapnya wanita seperti itu. Ainun hanya bisa menghembuskan nafas lirih, dan terus menguntai doa untuk Ahsan.
"Ah, atau jangan-jangan kamu menerima pernikahan ini hanya untuk menjamin kehidupanmu? Kamu memanfaatkan Ahsan?"
Ainun masih terdiam. Sedangkan Ghina sudah emosi diluar kendali, tak ada lagi sosok Ghina yang penyabar, dia akan benar-benar kecewa dan marah bila itu menyangkut keselamatan putranya.
"Jawab Ainun! Jika itu tujuanmu, katakan berapa uang yang kamu minta dan asal pergi dari kehidupan Ahsan!" Seru Ghina dengan tegas.
"Cukup Ibu!"
Bentakan itu tampak tegas namun diakhiri dengan lirihan. Seketika Ainun dan Ghina memalingkan pandangannya pada sosok yang tadi terbaring tak sadarkan diri, tapi kini sudah sadar dan bersuara.
Lantas Ghina dengan cepat menghampiri Ahsan, seolah melarang keras Ainun untuk menghampiri putranya itu. Tapi Ainun bisa bernafas lega, setidaknya Ahsan sudah sadarkan diri.
"Kamu sudah sadar, Nak? Biar Ibu panggilkan dokter dulu ya." Ghina berujar seraya ingin melangkah keluar ruangan, namun dengan cepat Ahsan mengapai tangan sang ibu lalu menggelengkan kepalanya.
"Jangan memarahi Ainun lagi, Bu," lirihnya lagi. Wajahnya yang pucat menatap sekilas sang istri yang masih terduduk di pojokan ruangan bak anak kecil yang melakukan kesalahan. Memang Ainun penyebabnya, tapi semua ini pun atas campur tangan sang pencipta.
"Kenapa kamu selalu membela dia? Wanita itu yang---"
"Karena dia masih istri Ahsan, Bu!" Kini jawabaan Ahsan membuat Ghina terdiam. Wanita paruh baya itu menggeleng tak percaya, lalu beristigfar pelan. "Ini semua kehendak Allah dan Ahsan masih baik-baik saja kan?"
Ghina memijat pelipisnya penuh prustasi. Emosinya membuat segalanya kacau. "Ibu emosi Ahsan."
"Iya Ahsan paham," ujar Ahsan. "Bu, bisakah Ahsan bicara berdua saja dengan Ainun sebentar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Love
SpiritualIni tentang dia yang mengajarkanku arti kesempurnaan sesungguhnya, yaitu kesempurnaan cinta. Dia pun membawaku pada sebuah fakta, bahwa cinta tidak membutuhkan akan syarat. Karena cinta itu hadir karena hati bukan rupa. Ketanpabersyaratan cinta itu...