02. Can't stop

397 53 6
                                    

"Suka sama kamu itu, susah"

"Punya kamu itu, bahagia."

-Ferli Abiana Bastomi.





***

Abi

Kalau di tanya gue pernah bosan sama Abil atau nggak, gue bakalan jawab iya. Realistis aja, karena rasa bosan itu selalu muncul. Mau seberapa lama lo pacaran, pasti akan ada masanya lo bosan. Entah itu lo bosan sama hubungan kalian, bosan dengan tingkah satu sama lain, atau mungkin bosan dengan semuanya. Beberapa orang akan memilih pergi kalau itu benar-benar terjadi tapi, gue dan Abil gak memilih itu. Kalau di pikir gue melakukan itu karena gue setia, itu salah. Gue dan Abil punya satu kebebasan. Saat kita benar-benar jenuh atau bosan satu sama lain, maka gue ataupun dia akan kasih tahu satu sama lain. Seenggaknya gue punya waktu buat tenang, dia juga gak pernah marah kalau tahu gue jalan sama teman-teman cewek gue walau gak semuanya cewek, tapi harus kasih tahu dia dulu sebelumnya.

Gue inget banget saat pertama kita berantem gara-gara nilainya turun. Itu semua salah gue, karena gue gak kasih waktu dia untuk belajar persiapan ujian. Biasa anak yang baru awal-awal jadiankan gitu. Lupa dunia, lupa kalau sekolah juga penting, lupa kalau kehidupannya gak melulu tentang cinta. Sampai akhirnya kita baikan dan hari ini adalah hari jadi kita.

Rencananya gue mau kasih dia sesuatu tapi, dia nolak. Katanya suruh di tabung buat masa depan dan gue benar-benar nurut sama ucapannya. Selama satu tahun ini gue benar-benar nabung hampir semua uang jajan gue, walau di sisain sedikit buat jalan atau makan di luar.

Sekarang ini gue berada di rumahnya.

"San, mau masuk SMA mana?" Tanya gue, karena sedari tadi kita sibuk main play station dan gak ngobrol sama sekali, ngomong juga karena game yang kita mainin.

"Suruh masuk SMA kalian tapi, kayaknya gue gak siap."

"Kenapa?" Tanya gue karena itu sedikit menarik.

"Nilai gue akhir-akhir ini di bawah sembilan Bang, takutnya gak bisa di terima."

"Maksudnya lima, enam, gitu?" Tanya gue memastikan angka nilainya.

"Bukan." Jawabnya masih terfokus dengan layar televisi dan gamenya.

"Terus berapa?"

"Delapan, paling besar delapan setengah."

Gue cengo begitu dia ngomong angka delapan. Iya, gue bengong dengan mulut yang terbuka. Gimana bisa dia bilang nilai segede itu gak di terima? SMA gue gak sebagus itu kayaknya, ini buktinya gue bisa masuk walau nilai selalu mentok di delapan, keseringannya tujuh.

"Bang, gue mau nanya dong," tiba-tiba aja Zisan stop main dan menatap gue serius.

"Soal apa?"

"Kalau kita kenalan di media sosial sama cewek terus kita udah ketemu dan ngerasa cocok, itu wajar gak sih?" Tanya dia dengan wajah yang benar-benar polos banget dan gue mencoba menahan tawa tapi gak bisa, "kenapa ketawa?" Tanya dia kayak bingung banget sama gue.

DEMMAND [END]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang