Hukuman paling jahat adalah waktu
Untuk kembali saja tidak bisa
Apa lagi untuk mendahului.
***
Abil
Jika di hitung seberapa berharganya hidup gue, maka akan gue jawab kalau hidup gue sangat berarti bagi diri gue sendiri. Bisa bertahan sampai sekarang membuat gue sadar betapa berharganya diri gue. Nggak peduli seberapa banyak orang-orang membanggakan prestasi mereka atau keahlian mereka, yang jelas gue lebih bangga sama apa yang diri gue lalui. Mulai dari perceraian orangtua, kekerasan di dalam keluarga, kemarahan atas diri gue yang gak bisa menarik diri sendiri dari dunia yang sebenarnya gak baik-baik aja.
Mungkin cara pandang gue berbeda dari anak-anak lain. Di saat kecil dulu yang mungkin anak-anak lain selalu meminta apapun sama orangtuanya kayak sepeda, mainan, dan hal-hal lain, sementara gue hanya diam gak meminta apapun. Seandainya gue minta Papa dan Mama untuk membelikan gue sepeda mungkin mereka akan memberikannya tapi, ada syarat dari semuanya. Gue harus jadi juara satu di sekolah, gue harus juara di olimpiade dan hal-hal semacamnya. Karena itu, gue memutuskan untuk diam dan sesekali meminjam sepeda dari anak tetangga.
Hidup dengan berkecukupan itu gak membuat kita bahagai. Walau di sana ada kata berkecukupan tapi nyatanya kita semua gak pernah merasa cukup untuk hal-hal apapun.
Gue udah terbiasa untuk menutup pergaulan gue semenjak duduk di kelas satu SMP. Gue gak mau orang-orang tahu di balik nilai gue yang besar ada perkataan Papa yang siap untuk membunuh setiap impian gue kalau-kalau nilai yang di dapat gak sesuai sama apa yang dia ingin. Selama di SMP gue cuma punya tiga teman dekat dan salah satunya Abi. Gue kenal dia juga karena sering ke rumahnya untuk konsultasi psikologis gue dan Zisan. Hingga akhirnya di SMA, gue lebih terbuka itupun berkat bantuan dari Abi.
Mengingat namanya gue jadi kangen dia, padahal baru dua minggu dia pergi kuliah di Bandung. Keputusan kita saat terakhir ketemu masih sama, kita gak menjalin hubungan lagi. Gue dan dia memutuskan untuk masing-masing lagi.
Sebenarnya keinginan untuk kembali sama dia itu, masih ada dan bisa di bilang sangat besar. Tapi keputusan yang kita ambil juga adalah keputusan yang paling baik untuk di ambil. Sulit memang kalau memikirkan sudah sejauh mana gue kenal Abi dan begitu juga sebaliknya. Gue memutuskan untuk menyudahi ini dengan alasan kalau dia bisa dapat seseorang yang bisa lebih peduli sama apa yang dia kasih di banding gue yang selalu menolaknya. Sedangkan dia menyetujuinya dengan alasan kalau dia harus fokus sama kuliahnya dan bisa lulus secepatnya.
Gue pernah berpikir untuk menjalin komitmen sementara waktu di saat kita berjauhan kayak gini tapi, rasanya terlalu egois kalau gue memaksakan itu. Kalau di lihat dari siapa yang memulai, mungkin gue akan malu dengan permintaan untuk berkomitmen itu. Yang gue lakukan sekarang cuma fokus belajar dan kejar mimpi gue, seandainya hubungan gue dan Abi harus benar-benar berpisahpun itu adalah hal yang harus gue terima.
"Lo lagi ngapain sih? Turun dulu, makan malem." Marah Zisan yang tanpa permisi menghancurkan lamunan gue beberapa saat lalu.
"Kayaknya gue gak makan dulu."
"Kak, lo diet? Badan udah kecil kayak lidi gitu mau diet?" Ucapnya dengan tampang yang menyepelekan banget. "Udah cepetan kita turun Mama nunggu di meja makan," dia menarik gue ke dapur dan disana udah ada Mama juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEMMAND [END]
FanfictionKetika Abil memutuskan untuk mengakhiri hubungan nya karena merasa tidak pantas hingga masa lalu Abi yang kembali. Mereka yang berjuang dengan sepenuh hati dan rasa tulus, bisakah berakhir bahagia? Rank #1 taelisa 2020