19: To be pitied

164 35 8
                                    

It's time to think mature

It's time to organize life

It's time to let go

End everything with a sense of will and sincerity.

***

Abi

"Kamu yakin?" Tanya gue.

Saat ini, gue dan Abil ada di hotel. Tempat dimana acara pernikahan Om Firhan dan calon istrinya di laksanakan. Mama, Papa, dan Bang Niel, udah masuk duluan ke aula tapi gue masih di sini menunggu Abil yang kayaknya masih ragu untuk masuk ke dalam.

"Pegang aku ya," Ucapnya sambil menggandeng tangan gue dan melangkah menuju aula.

Semua tamu undangan udah duduk di bangku, gue dan Abil memilih duduk di kursi yang paling belakang karena rasanya gak enak untuk maju ke depan sedangkan acara udah mulai sejak tadi.

Gue merasakan tangan Abil yang sedikit dingin dan gemetar. Kayaknya dia gugup banget ada di sini. Dengan usapan pelan di  punggung tangannya gue berharap dia bisa sedikit lebih tenang dan menerima ini. Gue tahu ini berat bagi dia tapi, mau di katakan apa lagi? Ibaratkan pepatah,  nasi sudah menjadi bubur. Gak ada yang bisa di ubah lagi setelah ini.

"Sah..." Sorakan itu, membuat kita seketika menatap ke arah depan.

"Abis salaman kita pulang," ucap Abil, dengan kepala menunduk.

"Bil, aku tahu ini gak bisa kamu terima... Tapi aku gak mau lihat kamu sedih kayak gini."

Gue menggenggam kedua tangannya berharap dia bisa lebih tenang lagi dan seenggaknya jangan nangis di sini. Cukup di depan gue aja dia nangis, jangan biarin orang-orang tahu kalau dia rapuh.

"Yuk, ke depan," Ajak gue.

Kita melangkah ke pelaminan dan bersalaman sekedar memberi ucapan selamat. Abil di minta untuk duduk di pelaminan dan menemani Om Firhan dan istri barunya tapi, dia menolak dengan alasan ingin ke kamar mandi.

"Pulang yuk," ajak Abil, begitu kita keluar dari aula.

"Kamu mau jalan-jalan dulu?" Tanya gue, sambil menggandeng tangannya menuju parkiran.

"Nggak deh, aku pengen ke apartement kamu aja."

"Mau ngapain?"

"Diem aja di sana, soalnya pemandangan kota bagus banget di balkon kamar kamu." Jelasnya dan gue mengakui kalau apartemen gue emang enak banget untuk melihat pemandangan kota dari balkon.

Sepanjang jalan hanya suara radio yang mengisi perjalanan kita. Sesekali gue dan Abil ikut nyanyi saat lagu yang kita hapal di putar. Sampai akhirnya kita sampai di apartement. Abil masuk begitu aja ke kamar dan menduduk kan diri di kursi yang sengaja gue simpan di balkon kamar. Sementara gue melihat-lihat isi apartement yang udah hampir satu tahun gak gue tempatin. Untungnya Bang Niel sering datang ke sini untuk menginap kalau dia malas pulang ke rumah karena jarak kantornya yang lebih dekat sama apartement ini. Gue sempat mau jual tapi, berpikir ulang begitu tahu kalau Bang Niel sering tidur di sini.

"Kapan terakhir kali kita ke sini?" Tanya dia.

Gue mendudukkan diri di samping Abil.

"Satu tahun atau... Mungkin lebih."

"Udah lama banget ya... Kalau udah nikah, boleh aku tinggal di sini?" Tanya dia.

"Kenapa? Bukan nya, kamu pengen aku siapin rumah?"

Dia gak langsung menjawab, kakinya melangkah masuk ke dalam kamar kembali.

"Aku suka di sini. Tenang."

DEMMAND [END]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang