Taeyong bermimpi malam itu, mimpi yang sama yang selalu menghantuinya lagi dan lagi, menyakitinya. Dia bermimpi berteriak untuk mencegah, tetapi semuanya sudah terlambat, dia berteriak-teriak menghampiri Yeri yang terkapar penuh darah... darah itu begitu banyak memenuhi tangannya, bersumber dari kepala Yeri.
Dan ketika kemudian darah itu semakin banyak dan banyak, Taeyong menyadari bahwa dia sudah tidak punya harapan lagi, bahwa dia sudah kehilangan semuanya. Akhir mimpinya selalu sama, dipenuhi dengan kesedihan dan kehampaan yang menyakitkan.
Dengan panik Taeyong tergeragap, terenggut paksa dari mimpinya yang lelap. Tubuhnya berkeringat dan napasnya tersengal.
Mimpi itu yang selalu menghantui malam-malamnya dan menyiksanya, seandainya waktu itu dia sadar akan sikap aneh Yeri, seandainya dia bisa menebak dan memberikan sedikit perhatian kepada Yeri untuk mengetahui apa yang berkecamuk di benaknya. Seandainya saja....
Taeyong mendesah keras, manusia memang hanya bisa berandai-andai ketika sudah dipenuhi penyesalan mendalam.
Seperti malam kemarin. Jantung Taeyong berdenyut. Dia telah merenggut istrinya dengan kasar. Masih teringat jelas jeritan dan permohonan Ten yang penuh air mata memohon kepadanya agar tersadar, tangisan Ten sejenak membuatnya ragu. Tetapi kemudian dia membayangkan Yeri, Yeri yang menderita, buta dan lumpuh, kehilangan kemampuan otaknya sehingga mengganggu mentalnya. Yeri yang menanggung semua kepedihan sampai tak kuat lagi, dan semua itu gara-gara Ten.
Dan Taeyongpun pada akhirnya bertindak kejam, memperlakukan Ten dengan kejam, untuk memuaskan dendamnya, untuk membuat Ten merasakan apa yang dirasakan oleh Yeri.
Pembalasan dendamnya harus setimpal, sakitnya harus sama. Ini adalah dendam Yeri, dendamnya juga, dan masih akan ada banyak lagi kesakitan yang akan ditimpakan Taeyong kepada Ten.
Ten harus menerimanya.
Tetapi.... kenapa rasa sakit ini semakin lama semakin menekan perasaannya? Membuatnya sesak dan tidak mampu menahan rasa.
***
Ten menangis semalaman dengan tubuh sakit dan perih, sampai akhirnya dia tertidur. Ketika bangun, dengan tertatih dia melangkah ke kamar mandi. Tubuhnya sakit, seluruh tubuhnya terasa sakit akibat pemaksaan yang dilakukan oleh Taeyong kepadanya.
Dia langsung ke kamar mandi dan mencuci tubuhnya dengan bersih, menggosok kulitnya di pancuran kamar mandi sampai terasa sakit. Seolah semua itu bisa menghilangkan sisa penghinaan dan sikap merendahkan yang dilakukan Taeyong kepadanya. Air matanya sudah terkuras habis, bahkan Ten sudah tidak mampu menangis lagi.
Cukup sudah! Dia sungguh yakin bahwa memang Taeyong tidak mencintainya dan tidak pernah mencintainya, entah karena apa lelaki itu menikahinya, yang pasti bukan karena cinta.
Ten memakai pakaiannya dan kemudian mulai merapikan pakaiannya di lemari dan memasukkannya ke dalam tas. Perkawinan ini sejak awal memang diperuntukkan untuk membuat Ten menderita. Air matanya menetes, semua yang dilakukan Taeyong kepadanya, kelembutan itu, kasih sayang dan tatapan mata penuh cinta itu, semuanya adalah kebohongan.
Hati Ten terasa sakit, dia tidak mampu lagi menahan kebencian Taeyong yang tanpa alasan. Dia harus pergi dari rumah ini, segera.
"Mau kemana?" Pintu kamarnya terbuka tanpa peringatan, membuat Ten terperanjat kaget dan menyesal kenapa dia tidak terpikir untuk menguncinya.
Taeyong berdiri di sana, lelaki itu sudah mandi dan bercukur, memakai jas kerjanya siap untuk berangkat kerja.
Ten menatap Taeyong, dan merasakan masih ada sebersit cinta yang berdenyut di benaknya untuk lelaki itu. Lelaki yang semalam telah melakukan hal yang intim kepadanya...dengan pemaksaan dan sikap kejam. Dengan tegar Ten memalingkan wajah dan memfokuskan diri untuk merapikan pakaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembunuh Cahaya (Taeten ver)
RomanceTen tidak pernah mengerti apa yang ada di benak Taeyong. Lelaki itu dulu sangat baik padanya hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah, dan Taeyong lalu berubah menjadi sangat membencinya. Original Story by Santhy Agatha