7

490 64 2
                                    

Mereka berdua bertatapan dengan cemas dan wajah pucat. Ten sendiri begitu cemas, suaminya memperlakukannya dengan buruk dan sekarang dia hamil, hamil bukan dari buah cinta perkawinannya tetapi dari pemaksaan yang dilakukan suaminya kepadanya.

Akan seperti apakah Taeyong memperlakukan anaknya nanti? Sementara dia memperlakukan Ten seperti ini? Bagaimanakah anak ini akan tumbuh dan besar? Akankah Taeyong memperlakukannya dengan buruk?

Tiba-tiba insting ingin melindungi anaknya tumbuh dari benak Ten, dia langsung merangkulkan lengannya dan memeluk perutnya dengan waspada. Kalau Taeyong ingin menyakiti anak dan bayinya, berarti dia harus berjuang, kemarin Ten pasrah dan menyerah karena dia merasa dirinya sebatang kara, sekarang dia mempunyai seorang bayi yang tumbuh di dalam rahimnya, dan dia harus berjuang melindungi anaknya.

"Kau harus ke dokter." Taeyong memandangi Ten yang memeluk perutnya sambil mengernyit, "Kita ke dokter sekarang."

"Aku bisa pergi sendiri." Ten tiba-tiba ingin menjauhkan Taeyong sejauh mungkin dari calon anaknya. Dia tidak percaya kepada Taeyong.

"Sekarang, Ten." Taeyong menggeram merenggut lengan Ten dengan kasar, ketika melihat Ten mengernyit dia langsung melepaskan pegangannya tampak bingung harus berbuat apa, "Pokoknya ikut aku."

Ten memegangi lengannya yang sakit, sekilas melihat kebingungan yang muncul dari tatapan mata Taeyong dan menarik kesimpulan. Taeyong tampak sama bingungnya dengannya, lelaki itu sepertinya tidak mengira keadaan akan seperti ini. Kemudian dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk mengikuti kemauan Taeyong. Lagipula dia ingin memastikan keadaannya di dokter.

Dengan langkah ragu, dia mengikuti Taeyong memasuki mobil hitamnya yang besar itu, dan duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sepanjang perjalanan mereka tidak bercakap-cakap, hanya diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

***

"Kantong kehamilannya sudah kelihatan, dan hasil tes labnya positif, usia kandungannya sudah enam minggu." Dokter perempuan itu tersenyum, "Selamat tuan."

Ten membalas senyuman dokter yang ramah itu dengan gugup, sementara Taeyong sendiri tampak pucat pasi menerima kepastian kabar itu.

Ini pasti bukan yang diharapkan lelaki itu.

Ten menatap ekspresi shock Taeyong dan menghela napas panjang. Tetapi dia benar-benar hamil. Dengan lembut dielusnya perutnya, penuh kasih sayang. Dia tidak tahu bagaimana caranya menjadi ibu, tetapi yang pasti dia akan menjaga anak ini sepenuh hatinya. Matanya bersinar penuh sayang, karena kehadiran anak ini, dia tidak sebatang kara lagi.

Ten mengangkat kepalanya, dan matanya bertatapan dengan Taeyong yang sedang mengamati perutnya. Lelaki itu lalu menatap mata Ten dan mengalihkan pandangannya. Ekspresinya tidak terbaca.

***

Setelah mengantarkan Ten pulang, Taeyong langsung pergi lagi, setengah mengebut dia menuju rumahnya yang ada di pinggiran kota. Menuju Yeri.

Rumah besar bercat putih itu tampak lengang, ketika Taeyong memarkir mobilnya di halaman dia merenung dan menyadari bahwa selalu ada nuansa sedih di dalam rumah ini. Suasana sedih yang menggayuti hatinya.

Dia melangkah menaiki tangga menuju kamar Yeri, rumah tampak sepi karena masih siang hari. Mungkin Yeri sedang tidur siang dan para pelayan sedang sibuk menyiapkan hidangannya di dapur.

Dengan hati-hati, dibukanya kamar adik kembarnya itu, dilihatnya Yeri sedang tidur pulas. Tetapi rupanya Yeri menyadari kedatangannya, matanya terbuka, meskipun hampa dan kosong, tetapi menunjukkan kalau dia sudah bangun.

Pembunuh Cahaya (Taeten ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang