Lenguhan pertama kali menyapa setelah cahaya matahari pagi menerobos masuk pada celah jendela yang sedikit terbuka. Membuat tidur lelap Jiyeon terusik hingga gadis itu berinisiatif merubah posisi tidurnya. Bergerak sedikit ke samping dengan mata yang masih terpejam.
Gejolak aneh serasa mengocok perutnya membuat tangan ramping itu terangkat naik menutupi bibir yang terkatup rapat, disusul kelopak mata yang terbuka dan bergerak cepat turun dari ranjang. Memaksa tungkainya berlari ke kamar mandi dan memuntahkan gumpalan pahit yang memaksa minta dikeluarkan dari tenggorokannya.
Jiyeon memutar keran dan muntahannya larut bersama air yang mengucur deras. Gadis itu menampung air dengan kedua telapak tangannya demi membasuh wajah kecilnya. Matanya bertemu dengan pantulan wajah pada cermin yang sedikit basah terkena percikan air.
Berantakan.
Penilaian pertama yang mencuat dari benaknya. Kepalanya pusing dan kedua tangan itu masih menopang pada pinggiran wastafel.
Menunduk sembari memejam, Jiyeon menggelengkan kepalanya sedikit keras guna melerai pusing yang tak kunjung reda. Menyesali tindakannnya yang memilih mabuk demi menghindari Taehyung dan beresiko hangover seperti sekarang.
Gadis itu mematikan keran kembali dan melangkah ke bawah shower. Membuka helai demi helai pakaian yang melekat di tubuhnya. Hunjaman sejuknya air menyapu seluruh kulit telanjangnya. Berharap lelah dan pusing yang mengukungnya saat terbangun, luruh bersama aliran air yang berakhir pada pembuangan air di sudut lantai kamar mandi.
Tidak mementingkan siapa yang mengantarnya hingga ke apartemen. Sebab, gadis itu berasumsi jika Hoseok lah yang harus ia repotkan untuk mengantarkannya selamat hingga masih dalam pakaian utuh berbaring di atas ranjang.
••
"Ukirannya halus sekali." Puji Jiyeon begitu menyentuh terracotta yang baru saja dikirim tadi subuh ke tempat mereka. Kedua tangannya terbungkus sarung tangan katun agar tidak terjadi kontaminasi silang. Kaliper yang ia gunakan sudah berada di atas meja kayu, sementara jelaga redup itu masih mengagumi pahatan terracotta di depan mata. "Aku kagum dengan seni manusia purba."
Jimin mengangguk menyetujui, berbagai artefak yang sudah pernah mereka teliti mempunyai seni tinggi dan kini berakhir pada museum setelah melalui beberapa tahapan tentunya. Ada rasa bangga jika mereka menyelesaikan analisis satu artefak dengan baik.
"Apa terjadi sesuatu semalam?" tanya Jimin membuat dahi Jiyeon berkerut tidak mengerti.
"Hoseok bukan pria seperti itu, kau seperti baru mengenal Hoseok saja," balas Jiyeon kembali fokus pada terracotta di tangannya.
"Bukan Hoseok yang mengantarmu pulang semalam, Ji. Itu Taehyung." Seokjin yang berada tidak jauh dari Jimin dan Jiyeon pun ikut bersuara.
"Apa?" Jiyeon tidak percaya jika teman-temannya dengan mudah menyerahkan dirinya dalam keadaan tidak sadar pada orang asing.
"Dia bilang kalian menempati gedung apartemen yang sama," sahut Jimin.
Jiyeon menatap Jimin dan Seokjin bergantian. "Aku tahu dia sahabatmu, tapi kenapa kau membiarkan aku pulang dengannya begitu saja? Bagaimana nanti kalau Taehyung melakukan sesuatu padaku? Kau mau tanggung jawab?"
"Kalau dia melakukan sesuatu padamu, seharusnya kau minta tanggung jawab padanya! Bukan padaku. Lagipula 'sesuatu' yang kau maksud itu tidak terjadi. Kenapa harus marah?"
"Fuck you!" Jiyeon berdiri dan melangkah keluar dengan kesal. Marah pada Jimin yang menganggap remeh keadaan. Atau Jiyeon yang terlalu berlebihan?
KAMU SEDANG MEMBACA
hereinafter✔
RomanceSemenjak saat itu... langit tak lagi cerah, hujan hanya menyisakan basah yang menjelma menjadi luka.