Bagian 10

5.5K 330 15
                                    

Syukurlah, kondisi kakiku saat ini sudah membaik dan sudah bisa berjalan. Aku merasa lega karena bisa kembali bebas melangkahkan kaki walaupun aku masih sedih karena harus menghindari lari dan lompat untuk proses pemulihan. Tidak masalah. Aku hanya butuh waktu dan yang terpenting aku tidak lagi merepotkan orang lain terutama Bian. Sampai saat ini pun aku masih jaga jarak dan menghindari komunikasi dengannya. Memang lebih baik seperti ini agar dia instropeksi diri. Aku sudah berusaha sabar menghadapinya, tapi dia justru sama saja, tak ada niatan untuk berubah minimal memberikan sedikit perhatian padaku tanpa harus terpaksa.

Perhatianku teralih ketika pintu mobil ini terbuka. Bian masuk ke dalam dan duduk di depanku. Aku tak tahu apa rencana Cia. Pertama, dia mengajakku tanpa alasan pasti akan membawaku ke mana. Sekarang, dia justru mengajak Bian tanpa memberitahu aku sebelumnya. Dan kenapa Angel tidak diajak, malah ditinggal di rumah bersama pelayan. Kini aku curiga jika dia ingin mendekatkan aku dengan Bian.

"Masalah penting apa yang membuatmu menunda pertemuan pertingku dengan kolega?" tanya Bian pada Cia.

"Ini masalah kalian berdua? Kalian butuh waktu untuk mencairkan suasana dan agar kebekuan dalam pikiran kalian mencair. Untuk beberapa hari ke depan, kalian nikmati saja waktu berdua di vila. Aku yang akan menangani kantor dan Angel." Cia membalas.

"Urungkan niatmu. Waktuku lebih berharga bertemu kolega daripada menikmati liburan yang tidak bermanfaat." Bian menolak.

"Jadi, menurutmu, keluarga tidak penting?" Cia menatap kakaknya sekilas.

"Bukan seperti itu, Cia. Ada pertemuan penting yang harus kulakukan untuk kepentingan bisnis." Bian mengelak.

"Aku yang akan menanganinya. Apa kamu meragukan aku?" Cia meyakinkan.

Bian terdiam. Dia sepertinya salah bicara. Cia pun seperti menunggu balasan dari kakaknya. Aku mungkin harus bersuara. Tapi lebih baik aku diam saja. Aku tak ingin berpihak pada mereka berdua. Aku ingin menolak, tapi ucapan Cia ada benarnya.

Konsentrasiku buyar ketika mendapati ponsel bergetar. Tanganku bergerak meraih benda pipih itu dari saku pakaian. Terlihat pesan dari Bian. Kali pertama dia mengirim pesan padaku setelah sekian lama menjadi istrinya.

From: Mr. Kutub
Bujuk Cia agar membatalkan semua ini.

Pandangan kulempar pada pengirim pesan. Dia terlihat seperti memikirkan sesuatu. Aku mengabaikan pesannya, menutup ponsel dan kembali memasukannya ke dalam saku. Sengaja mengabaikannya agar dia intropeksi diri dan memberinya pelajaran arti diabaikan. Ponselku kembali bergetar. Aku mengabaikan. Bian terlihat frustrasi. Dia menghubungi seseorang melalui sambungan telepon. Cia tersenyum sekilas melihat kakaknya kesal. Aku tidak setuju dengan rencananya, tapi aku pun setuju dengan caranya memaksa Bian. Hanya Cia yang bisa memaksanya. Aku masih belum tahu jelas alasan Bian selalu menuruti permintaan Cia entah itu secara baik atau paksaan.

Aku turun dari mobil ketika kami tiba di halaman rumah minimalis yang ada di hadapanku saat ini. Tempat ini sangat jauh dari keramaian. Lebih tepatnya di tengah hutan pinus. Bian sudah terlebih dulu masuk ke dalam rumah itu.

"Maafkan aku, Ana. Aku terpaksa melakukan ini. Kamu pasti tahu alasanku melakukan semua ini. Aku ingin agar dia percaya padamu. Selanjutnya, aku menyerahkannya padamu." Cia terdengar sendu.

Entah aku harus membalasnya bagaimana. Semua terasa rumit bagiku. Mungkin Bian pun merasakan yang sama. Deminya, dia terpaksa menikahiku. Demi ayah dan demi kebaikan kita semua, aku terpaksa menerima pernikahan bersama Bian. Dan muara masalah ini terdapat pada mendiang ibu mereka, Tante Riana.

Cia menggenggam tanganku. "Aku tahu ini berat untukmu, tapi ini untuk kebaikan kamu dan kakakku. Aku yakin, kamu bisa membuatnya jatuh cinta seperti aku yang langsung percaya padamu jika kamu wanita baik."

Slowly Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang