12. Keluhan Para Proletariat

102 19 0
                                    

Keesokan harinya.

Kirea dan Ega menuruni anak tangga dengan perlahan. Mereka mulai beriringan berjalan ke tempat tujuan. Beberapa orang sudah berpapasan dengan mereka, ya itu adalah peringkat terabawah. Dari sekejap lirikan sudah terasa perbedaannya, di lantai bawah agak sedikit riuh. Sangat asik.

Sejujurnya, Kirea sangat gugup sekarang, takut orang-orang peringkat terbawah tak menerimanya dengan baik dan memusuhinya. Dia menggenggam erat tangannya sebagai sarana penenang. Soalnya dari penampilan orang-orang itu sepertinya mereka sangat galak.

It's okey! mereka gak makan orang, benaknya.

Akhirnya sampailah di sebuah ruangan yang besar dan sofa panjang melingkar yang diduduki oleh banyak orang di sana, beberapa orang lagi terlihat duduk di lantai dengan nyaman.

Mereka sedang bersantai dan bercengkrama bersama-sama. Sungguh, ini terlihat sangat menyenangkan, di mana bagian menderitanya?

Ega datang bersama Kirea dengan sambutan hangat dari mereka. Mereka ternyata sangat ramah.

Don't judge book by it's cover.

Kalau disuruh memilih antara peringkat tengah yang tinggal di lantai dua dengan orang-orang super ambis dan hanya bercanda sewaktu-waktu saja dibanding dengan peringkat terbawah yang terlihat ramai sepi bersama, Kirea akan berteriak memilih peringkat terbawah.

"Ini Tanaka Kirea, temen gue. Dia baru pindah beberapa hari yang lalu."

Mereka serentak menyapa Kirea kembali.

"Cantik banget, orang Jepang ya?" tanya Nur, salah seorang dari mereka yang terlihat memakai daster merah dengan beberapa tambalan jahitan di lengannya.

Yup, semua orang akan cepat tahu dari nama dan wajahnya. "Bukan orang sana juga sih, gue cuman keturunan Jepang doang. Bokap gue yang asli orang sana mah. Kalok gue tinggal di Indonesia sejak kecil, ke Jepang sekali pun belum pernah."

"Wah, keren banget," ujar mereka secara spontan.

Kirea merapihkan anak rambutnya karena tersipu. "Engga ih biasa aja."

"Eh, lo kok bisa pindah ke sini, sih?" Ria, cewek yang sedari tadi tak kunjung melepas tatapannya pada Kirea yang duduk di depannya mulai membuka suara.

"Panjang ceritanya, intinya gue agak dipaksa sama nenek gue buat sekolah di sini."

"Wah, kok bisa. Gue denger-denger katanya gak ada anak pindahan yang bisa diterima di sekolah ini." Ning yang termasuk salah satu dari mereka tampak terheran.

"Iya, the power of nenek-nenek." Ega menimpali.

Anggun menebak, "kayaknya nenek lo temenan sama pemilik sekolah ini."

Yang lain terlihat mengangguk setuju. Kirea juga baru menyadari hal itu, ternyata neneknya punya banyak kenalan juga.

"Oh, iya. Berarti kalian dulu pas masuk ke sini itu dimasukin langsung sama pemilik sekolah ini, ya?" Kirea penasaran.

Mereka menggeleng, sebab mereka bahkan tak mengenal siapa pemilik sekolah ini, dan beliau juga tak pernah menunjukkan dirinya.

Mereka masuk dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang memang sudah diiming-imingkan sejak SMP, ada yang diambil dari jalanan karena berniat tak melanjutkan sekolah sebab kendala biaya, ada yang memang ingin masuk ke sini karena katanya gratis dan tak perlu mendaftar dengan ribet-ribet hanya butuh mengisi formulir dan beberapa surat saja, dan lain-lain sebagainya.

MEMANUSIAKAN MANUSIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang