L. Persimpangan yang Membingungkan

65 90 0
                                    

"Seberat apapun jalan yang ditempuh, jangan sampai membuatmu kian rapuh"

-Kamu wanita yang tangguh

Alarm di handphone-ku berbunyi nyaring, memekakkan telingaku dengan irama lagu yang tak asing. Memang sengaja kuatur dengan nada yang melengking. Agar bangun lebih awal dan tak lupa akan jadwal, semacam rutinitas.

Setiap hari minggu pagi, Aku dan Icha biasa jogging sambil menikmati suasana sunrise di tempat favorit kami. Dan lokasi yang paling cocok untuk menatap langit dengan sejuta harapan baru bersamaan timbulnya baskara pagi adalah Pantai Putri Gading Cempaka atau lebih dikenal sebagai Pantai Panjang.

Pantai ini merupakan salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan. Disebut pantai panjang karena memang mempunyai garis tepi pantai yang cukup panjang, yaitu sejauh tujuh kilometer dengan luas pantai secara keseluruhan kurang lebih 178,50 Ha. Pemandangan ombak dengan suasana pantai dan pasir putih halus yang ditumbuhi oleh pohon cemara laut, membuat pantai ini digemari wisatawan lokal maupun internasional.

Kondisi pantainya yang landai, air yang bersih, serta hamparan pasir putihnya yang luas, pengunjung bisa mandi sepuasnya sambil menikmati semilir angin pantai yang masih bersih dan sejuk karena pantai ini jauh dari area perindustrian.

Pantai Panjang memiliki jarak titik pasang dan titik surut kurang lebih sekitar 500 meter. Hal ini tentu membuat pantai ini lebih indah saat surut karena hamparan pasir putihnya jadi semakin luas. Kita tak hanya menemukan warna biru dan putih di sini, tapi juga warna hijau dari pepohonan. Karena terdapat banyak pohon cemara dan pinus di dekat pantai.

Kali ini Icha mengajak suaminya, Agung, selagi masih punya banyak waktu. Mumpung orang tua mereka masih senang dan tak bosan-bosan menimang cucu semata wayangnya itu, momen berdua dengan Icha menjadi hal yang amat sayang untuk disia-siakan. Jadilah aku yang seorang diri menatap pasangan suami-istri menyebalkan ini sepanjang jogging nanti. Mana sudi aku menjadi obat nyamuk sendirian!

Sebenarnya aku ingin mengajak Imelda untuk menggenapkan persona jogging pagi ini. Tapi saat melihat wajah riang Icha dan Agung seolah dunia hanya milik mereka berdua, aku terpaksa mengurungkan niat dan pasrah menerima apa adanya.

"Macam mana kau ini, Nan?! Sudah berapa lama kau membujang? Ternyata wajah tampan dan rupawan bukan jaminan. Hahaha ....," canda Agung yang membuatku harus mengelus dada.

"Tak usah sok peduli. Aku sadar diri, kok." Aku menatap kesal ke arah Agung yang dengan santainya melontarkan pertanyaan durjana itu.

"Alamak ... seram nian muka kau, Nan."

"Sudahlah, bang. Tak baik menggoda Pak Wakil Camat. Mending abang goda istri tersayang ini."

Icha mulai menampakkan gelagat yang menjengkelkan. Agung pun sama halnya dengan Icha, sungguh teganya mereka berdua. Apalah daya bagiku yang hanya bisa melihat mereka berlari sembari berpegangan tangan begitu mesranya. Melihat panorama menyebalkan ini amat tak baik bagi kesehatan jemariku, gatal sekali rasanya.

Baru sekitar lima menit jogging ke arah pantai, kami bertiga berpapasan dengan wanita berhijab yang sedang lari pagi seorang diri. Aku yang sengaja menjaga jarak dari pasangan Agung-Icha tiba-tiba merasa familiar dengan perempuan tersebut. Semakin lama, semakin dekat jarakku dengannya. Aneh, Agung dan Icha malah berlari kencang bak anak ayam kehilangan induknya. Hingga kusadari kalau pasangan menyebalkan itu sengaja meninggalkanku untuk menyambut perempuan berhijab ini yang tak lain adalah Husna Salsabila Az-zahra!

Lagi-lagi kebetulan menakdirkan kami kembali bersua, untuk kesekian kalinya. Husna mengenakan kaus lengan panjang warna putih yang dibalut sweater abu-abu muda. Hijabnya terlihat simpel dengan gaya yang sederhana. Jogger pants hitam dan sepatu kets putih cemerlang membuat dirinya tampak segar dan minimalis.

"Pak Adnan jogging sendirian?" tanya Husna yang sebenarnya cukup kujawab dengan senyuman kecil sembari menganggukkan kepala, menjaga wibawa.

Tapi kenapa diriku jadi susah melakukannya? Aku malah terdiam dan menghentikan langkah. Pun sama, Husna ikut-ikutan diam dan menatapku. Seolah menunggu jawaban, hening seketika.

Aku ... Harus bagaimana!? Jawabku apa?!

Sekelebat ide segera muncul dikepalaku dan tanpa sadar diriku kelepasan bicara, sebagai jawaban atas pertanyaan Husna.

"I-iya ... Apa ... kamu mau jogging denganku?"

Ya ampun! Bicara apa aku tadi?! Konyol sekali jawabanku yang ditambah pertanyaan, ini terlalu berlebihan. Bukankah tadi dirinya hanya bertanya apakah aku jogging sendirian? Memandang wajahnya membuatku berkata melantur, menyimpang jauh dari arah pembicaraan. Untunglah kecemasanku langsung terkikis tatkala Husna tertawa renyah, suaranya indah.

"Sangat mau. Kebetulan saya juga sendirian, Pak."

Nah, Husna. Jawabanmu sukses membuat hatiku berbunga-bunga, entah apa sebabnya.

* * * * * * * * * *

Husna terlihat tenang saat lari bersamaku tadi, padahal ini adalah jogging kami yang pertama kali. Beda denganku yang langkah demi langkahnya disertai debaran hati. Aku mulai bingung dengan perasaan ini.

"Wah, sunrise-nya indah sekali!" seru Husna yang membuyarkan lamunanku.

"Ah, setiap kali jogging, aku selalu pergi ke sini untuk menikmatinya." Aku sedikit malu-malu mengatakannya, supaya memecah keheningan saja.

Husna memandangku dengan tatapan mata yang sulit kuartikan. "Pak Adnan suka sunrise, ya?" Husna tiba-tiba tersenyum cukup lebar, memperlihatkan gigi putih miliknya.

"Ya ... Karena aku merasa harapan baru itu muncul bersamaan dengan matahari yang timbul."

"Kalau aku lebih suka sunset, Pak. Bagiku itu adalah suguhan terbaik dari sang Pencipta sebelum malam yang gelap gulita tiba."

"Kalau kamu mau mengantar matahari pulang, sebaiknya datang ke tempat favoritku yang kedua."

"Memangnya di mana, Pak?"

"Akan kuberitahu di pertemuan kita yang selanjutnya."

"Hmmm ... Saya jadi tambah penasaran, Pak." Husna sedikit menundukkan pandangannya, seakan menutupi ekspresi muka.

"Soal apa? Tempat favoritku itu?"

"Bukan ...."

"Lalu?"

"Saya semakin penasaran dengan anda, Pak Adnan. Banyak hal yang belum saya ketahui tentang kepribadian anda."

Diriku sejenak diam membisu, mematung dan terpaku ragu. Apa aku tidak salah dengar barusan? Tolong cubit aku dan katakan kalau ini hanya mimpi belaka, sayangnya ini adalah nyata!

"Husna ...." Aku menarik napas sebentar lantas menghembuskannya. "Terima kasih sudah menemaniku jogging hari ini," tambahku seraya melontarkan senyum padanya.

Saat kami berdua sedang menikmati mentari pagi yang mulai memancarkan sinar hangatnya, tiba-tiba seseorang berteriak kencang menyerukan sebuah nama.

"Imelda!!! Tunggu dulu!!!"

Sontak diriku langsung menoleh ke arah lelaki berparas Tionghoa dan mendapati dirinya sedang berusaha membujuk wanita yang sedari tadi bersikeras menolak ajakannya.

Perempuan bermata biru dengan tongkat putih bergaris merah horizontal itu ... Jangan-jangan ... Imelda!

Sekarang aku benar-benar dilema oleh pilihan yang mengharuskanku untuk segera menentukan. Sebelum semuanya terlambat. Masalahnya adalah pilihan tersebut mengantarku pada sebuah persimpangan jalan yang begitu membingungkan, sulit untuk membuat putusan. Ke kirikah? Ke kanankah? Opsi yang kumiliki hanyalah dua, Imelda yang telah mengutarakan perasaannya sekaligus menjadi cinta pertama atau Husna yang kini mulai membuat hatiku berdebar tak terkira.

Sejurus kemudian, mataku dan Imelda menemukan titik temu, bersitatap muka. Berat sekali rasanya walau sekedar mengalihkan pandang.

Alhasil, sebuah memori buncah seketika di benakku. Beserta rindu. Menjadi satu, bersatu padu. Menuai asa yang tak mengenal jemu. Membangkitkan tekad untuk tetap menepati janji kelingking itu.

TO BE CONTINUED..

Konsonan Cinta yang Hilang Vokalnya ✔ (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang