N. Memory Remains

81 91 0
                                    

"Sisa kenangan ini terasa memuakkan, pasalnya begitu susah dilupakan."

-Kamu yang selalu memicu ingatan

Tiada berbeda apa yang kurasakan, menghadapi segenap kecemburuan tak beralasan. Sama ketika aku melihat Imelda bersama lelaki Tionghoa di pantai tadi. Bertepatan dengan usainya hujan, pintu rumahku kembali kedatangan tamu. Dan yang mengejutkan, ia bukannya menekan tombol bel pintu malah menggebrak-gebrak layaknya polisi pamong praja yang sedang menangkap basah seorang pria pengedar narkoba di kediamannya. Merusak momenku dengan Imelda yang sedang berdua.

Segera kubuka pintu dan bersiap mengumpat si bedebah tamu. "Bisakah kau tekan bel sa ...."

Belum habis diriku menyumpahi tamu tak beradab tersebut, kenangan buruk yang selama ini kusegel dengan kuat seakan terlepas bebas. Lengkap sudah fragmen-fragmen cerita menyakitkan itu dengan adanya pria biadab yang sedang berada dihadapanku.

"Kau ...!" hardikku pelan bersamaan dengan Imelda yang menyusul ke depan.

"Long time no see, Gege. Atau ... haruskah kupanggil dirimu sebagai Pak Wakil Camat sekarang?"

Seringai milik orang ini begitu melekat di ingatanku. Masih sama menyebalkannya, licik bagai serigala berbulu domba.

Aku menatap dingin wajah manusia bedebah satu ini. "Apa maumu?" Andai saja Imelda sedang tidak berada di sini, peduli amat soal basa basi. Diriku sudah lama muak dari tadi.

"Aduh, beginikah caramu menyambut seorang adik? Pantas saja Papa dan Mama mengusirmu dari ...."

"Cepat katakan apa maumu, hah?! Kalau sudah selesai dengan ocehan sampahmu segera enyah dari sini!!!" bentakku kencang sambil terus menatapnya tajam.

"Hahaha ....," tawanya, "apa kau mau balas dendam? Mengusirku seperti kau yang diusir oleh Papa dan Mama? Kau harusnya berkaca dulu, Gege!"

"CUKUP, JUAN!!!"

Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Kuteriakkan nama bedebah ini sekuat tenaga, sekencang yang aku bisa. Mendengar ucapannya serasa membiarkan besi panas menghujam kepala, menyiksa ingatanku dengan kesakitan tiada tara. Sebab satu-satunya memori yang ingin kumusnahkan dan lupakan adalah tentang aku dan keluarga Tionghoa ini. Tetapi, aku yang baru pertama kali merasakan hangatnya sebuah keluarga, menjadikan memori ini sebagai satu-satunya pula alasanku untuk tidak mengenyahkannya begitu saja. Bagaimanalah, ini adalah kenangan yang indah sekaligus menyakitkan, mana mungkin terlupakan.

"Baiklah, Gege. Asal kau tahu saja, aku tak pernah sudi untuk menginjakkan kaki di gubuk reotmu ini." Juan mengejekku seraya merogoh saku celananya, mengeluarkan kotak persegi kecil warna hitam. "Karena hanya wanitaku saja yang bisa memaksaku datang ke sini. Satu lagi, kau jangan sembarangan menyebut nama kebesaranku, lebih tepatnya bisa kau lihat di kartu nama ini."

"Tunggu, jadi lelaki yang memaksa Imelda di pantai itu adalah kau? Huh, kau masih sama dengan dulu, ya? Tak pernah tahu perasaan seorang wanita," tuturku yang balas meremehkannya.

"Jangan menasihatiku, Gege. Karena kau sudah bukan kakakku lagi."

Aku terdiam. "Lantas kenapa kau memanggilku 'gege', hah?"

"Karena kau lebih tua dariku."

Juan menjulurkan kartu nama berwarna emas dan memberinya padaku. Aku menggeleng, mana sudi menerimanya begitu saja. Dia tersenyum kecut lantas meletakkan kartu nama itu di celah kecil tiang rumahku.

"Kenapa kau datang ke sini? Sudah kubilang kalau aku bisa pulang sendiri." Imelda yang sejak tadi menyaksikan perseteruan kami akhirnya mulai bersuara, tampaknya ia juga merasa tak nyaman dengan sikap Juan yang menyebalkan.

Konsonan Cinta yang Hilang Vokalnya ✔ (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang