P. Idealisme Gendarmerie

66 90 0
                                    

"Kehormatan seorang lelaki haruslah mampu menyemai dedikasi, idealisme paripurna yang sehati."

—Aku dan aparat sejati

Aku selalu membenci keterlambatan. Kata orang, itu menandakan kalau kita sedang terlibat kasus dengan yang namanya kemalasan. Tapi menurutku, terlambat tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan kepribadian seseorang. Karena tidak ada satu orang pun yang ingin datang terlambat. Kecuali sudah merencanakan untuk sengaja datang terlambat, ini jelas lain lagi ceritanya. Banyak sekali faktor di luar kendali yang menyebabkan seseorang mengalami keterlambatan. Bukan berarti menjadikannya sebagai alasan datang terlambat. Penyebab umum terciptanya perilaku tersebut adalah waktu yang begitu cepat dan kita yang masih saja sibuk berkutat.

Salah satu penelitian pernah mengungkapkan bahwa kebanyakan pekerja di New York, Amerika Serikat, mengerjakan lebih dari satu hal dalam sehari sehingga menyebabkan sering datang terlambat daripada penduduk kota lain yang hanya mengerjakan satu hal dalam sehari.

Mengerjakan banyak hal sekaligus dapat membuat metakognision, tingkat kesadaran seseorang menurun sehingga menyebabkan dirinya tidak fokus dan mungkin melewatkan beberapa acara penting karena terlambat.

Itulah kenapa aku selalu membuat pengingat yang muncul setiap 10 atau 15 menit sekali sebelum pertemuan atau acara. Aku menggunakan metode ampuh untuk menghalau perilaku terlambat tersebut. Sebut saja Time-Based Prospective Memory, di mana fungsi daya ingat dapat dipicu oleh isyarat waktu. Misalnya daya ingat untuk menonton sebuah acara televisi pada pukul sepuluh pagi setiap hari. Sederhananya, gunakanlah gawai yang selalu kalian pegang dan bawa untuk mencegah keterlambatan tercipta. Jangan cuma main game melulu tanpa tahu soal waktu yang begitu cepat berlalu. 

Kali ini, aku yang sudah rapi dan siap untuk berangkat kerja harus dikecewakan oleh metode penghancur keterlambatan yang selama ini kubanggakan. Jalanan yang hingar bingar ini meluluhlantakkan protokol hidupku dalam sekejab mata. Tepat, kemacetan ini membuatku merasa putus asa. Melihat kendaraan yang sedemikian banyaknya padahal mentari masih enggan beranjak dari pagi buta. Ada keramaian apa nun jauh di sana?

* * * * * * * * * *

Karena bosan menunggu macet yang tak juga usai, aku keluar dari mobil dan menuju ke tempat keramaian itu. Tampaknya ada suatu masalah di sana, tak seperti biasanya.

Sirene mobil polisi mulai terdengar dan disusul oleh mobil ambulans. Meraung-raung nyaring, memecah keramaian di tengah kemacetan ini.

Ada yang meninggalkah? Kecelakaankah?

Semakin dekat aku dengan tempat kejadian perkara, para polisi terlihat mengerubungi sebuah mobil di pinggir jalan raya. Police line melingkari area tersebut, memberi ruang bagi para polisi dan petugas kesehatan masuk. Namun mereka segera membukakan jalan bagi seorang polisi yang baru saja datang. Kelihatannya ia adalah komandan mereka. Dengan gagah dia masuk area police line dan menatap sendu mobil tersebut.

Sebagai Wakil Camat yang baik, aku berusaha mengorek informasi terkait kejadian tersebut. Karena mau tak mau ini tanggung jawabku juga. Sebab daerah sini masih termasuk Kecamatan Gading Cempaka.

"Permisi, Pak. Boleh saya tahu apa yang baru saja terjadi?" tanyaku pada seorang polisi yang tengah menjaga police line.

"Ini bukan urusan anda, Pak. Maaf saya tidak bisa memberi tahu informasi yang menjadi privasi aparat kepolisian."

"Apa? Saya adalah Wakil Camat Gading Cempaka. Jadi, setiap kasus yang terjadi di dalamnya masih berada dalam tanggung jawab saya."

"Tidak bisa, Pak. Kami bisa mengatasi kasus ini. Tak perlu repot-repot. Sebaiknya anda jangan mencari masalah yang akan mempersulit kinerja kami."

Konsonan Cinta yang Hilang Vokalnya ✔ (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang