J. Panggung Sandiwara (2)

75 90 1
                                    

"Aku ini apa? Benarkah kamu hanya menganggapku figuran pendukung belaka?"

-Kamu dalam panggung sandiwara

Aku tak tahu rasa apa yang sedang bersemayam dalam dadaku kali ini. Membuatku senantiasa disesaki oleh hasrat tak terperi, namun tak kunjung usai menguasai diri. Tanpa kusadari setiap momen yang ada dan telah terlaksana menjadikanku amat tak berdaya. Terutama dalam hal menuai asa untuk sejenak melupakannya. Meskipun itu adalah saat di mana aku dan Imelda berada dalam korelasi semu yang dusta.

Panggung sandiwara, entah kenapa aku jadi selalu merindukannya. Kuharap ini tak akan mengenal kata akhir, sampai maut memisahkan kita.

* * * * * * * * * *

"Terima kasih sudah membantuku ...."

Aku hanya mengangguk pelan saat mendengar Imelda mengucapkan itu, sebenarnya aku hanya melakukan apa yang dikatakan oleh suara hatiku.

"Tak perlu, sudah jadi tugasku."

"Maaf sudah merepotkanmu sepanjang hari ini."

"Imelda, dengar ya ... Bagiku membantumu bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan."

"Lucu sekali ... Apa karena kamu sudah janji?"

"Bisa dibilang begitu ... Entahlah."

Imelda membuka pintu mobil lantas keluar, menatapku sejenak lalu menutup pintu mobilku pelan. Aku menurunkan kaca jendela hingga setengah, seperti ada hal yang kurang sebelum berpisah.

"Fan Yin Huang ....," panggilku kepada Imelda yang bersiap masuk ke dalam rumah, membuatnya diam seketika. "Sampai jumpa di panggung selanjutnya."

Aku menutup kaca jendela mobil hingga rapat dan menekan pedal gas dalam-dalam, bergegas pulang. Dadaku berdebar amat kencang ketika mengucapkan kalimat tadi kepada Imelda, pikiranku tampaknya mulai tak fokus hingga tanpa sadar mengatakan hal yang sama sekali tak perlu. Memangnya siapalah aku yang berhak melontarkan kata-kata macam itu kepada Imelda. Aku merasa bodoh sudah memanggil Imelda dengan nama aslinya. Bodoh sekali. Amat sangat bodoh. Bisa jadi nama itu punya kenangan tak mengenakkan sehingga membuatnya risih dan tak nyaman.

* * * * * * * * * *

Hari-hari kerjaku di kantor terasa cukup biasa bagiku, meski mendapat tugas berat atau dalam jumlah besar sekalipun. Sebab diriku sudah terbiasa menjalaninya sejak lama, tepatnya selama tiga tahun kurang satu hari. Dan hari ini adalah upayaku untuk menggenapkan kinerja sebagai Wakil Camat Gading Cempaka.

Dari banyak kasus, mungkin kali ini adalah tugas terberat sekaligus menjadi yang paling sukar dipecahkan. Memang sepele kelihatannya, tak kusangka kasus Pak Malik dan Imelda terkait KTP waktu itu bisa sebermasalah ini.

Sebelumnya aku sudah sangat gembira karena berhasil memenangkan negoisasi dengan Pak Tua alias Ayah Imelda itu. Namun setelah kurundingkan bersama Pak Camat dengan dalih dukungan penuh dari Huang Family, beliau masih bersikukuh membela Pak Malik atas dasar hubungan kekerabatan. Belum lagi masa lalu kelam Pak Camat yang membuatnya begitu membenci eksistensi kaum Tionghoa, entah apa penyebabnya.

"Saya kira anda membantu gadis buta itu karena kasihan dan menuntut keadilan, ternyata anda sama liciknya dengan saya," ujar Pak Camat yang seketika itu juga menyulut habis sumbu amarahku.

"Jangan samakan saya dengan anda sebelum tahu pasti apa yang terjadi. Adalah sebuah kesalahan besar bagi Pak Malik yang dengan bodohnya memperdaya anak semata wayang Huang Family. Beliau sudah salah kaprah dan jelas melanggar tatanan hukum yang ada."

Aku tak suka diperlakukan sama oleh orang yang sama sekali berbeda, baik dalam sikap maupun kemampuan. Menurutku orang yang mengatakan kalau kita sama jelek perangainya dan menyamakan kita dalam hal keburukan adalah mereka yang tak pernah sudi untuk jatuh ke dalam jurang kenistaan seorang diri saja. Mereka tak lain ubahnya dengan iblis yang kerjanya menggoda manusia. Mencari teman sebanyak-banyaknya, semampu yang mereka bisa. Lantas masuk ke lembah kemaksiatan atas dasar asumsi 'sama' belaka. Ironis sekali.

Konsonan Cinta yang Hilang Vokalnya ✔ (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang