بسم الله الرحمن الرحيم***
"Kau masih galau, Sal? Maaf baru bisa menjenguk."
Aku tersenyum samar, "Siapa yang galau Mey, Aku sudah move on. Tenang Saja."
"Yakin?" Mey memicingkaan mata, menatapku tak ragu.
Aku mengangguk mantap. "Bagaimanan kabar Zubair?"
Kedua alis Mey saling bertautan. "Kau bilang sudah move on?"
"Hanya bertanya kabar Mey. Apa salahnya?"
Mey terkekeh, "Pekan depan sidang pertamanya."
"Bagaimana kabar ibunya?"
"Ya, seperti ibu kebanyakan yang menyaksikan anaknya di penjara. Pasrah, tanpa bisa berbuat apa-apa."
"Aku belum minta maaf padanya."
"Sudah ku sampaikan. Beliau tidak menyalahkan kau. Qadarullah katanya."
Aku mengangguk, tetapi tetap saja rasa bersalah masih kurasa.
"Boleh aku bertanya, Sal?"
"Biasanya kau tak pernah meminta izinku Mey."
Mey terlihat salah tingkah, "Hmmm, hari dimana kau meminjam ponselku saat di kantor polisi, apakah kau membaca pesannnya?"
Aku mengangguk pelan, "Maaf. Aku tak sengaja. waktu itu aku berniat untuk mengirim pesan pada bang Ilyas dari pada menelponnya. Aku minta ridho kau Mey atas prilakuku."
"Karena itu kau jarang menghubungiku?"
"Aku merasa bersalah pada kalian."
"Bukan salah kau Sal."
"Jangan menyalahkan bang Ilyas, Mey. Dia hanya ingin menjagaku."
Mey menghembuskan napas berat.
kugenggam kedua tangan Mey, "Aku akan membujuk bang Ilyas untuk menemui kedua orangtua kau."
"Terlamabat, Sal. Tiga bulan lagi aku akan menikah. Semalam ada seseorang yang datang melamar."
Dadaku terhimpit. Wajah bang Ilyas terlintas dalam benak, "Kau tak memberitahuku Mey."
"Aku pun tak menyangka akan secepat ini, Sal. Aku tak kuasa menolak permintaan ayah dan ibu terlebih yang datang adalah seseorang yang insyaAllah baik agama dan akhlaknya. Aku takut menjadi penyebab fitnah dan kerusakan di bumi jika menolak."*
Air mata menggenang di pelupuk, "Maaf." lirihku.
"Kau terlalu banyak meminta maaf Sal. Qadarullah. Barangkali aku dan bang Ilyas memang tidak di takdirkan bersama."
"Aku sedih Mey, kegagalan yang ku alami juga di alami oleh bang Ilyas. "
"Allah punya rencana terbaik untuk kau, bang Ilyas, juga aku."
"Ya. Rencana Allah selalu yang terbaik."
Mey memelukku erat, kurasakan bahunya bergetar. Dalam hening kami menangis bersamaan.
▪️▪️▪️
Pukul 8.30 malam, bang Ilyas belum kembali dari masjid. Aku menunggunya dengan perasaan cemas. Bukan karena mengkhawatirkan keterlambatannya tiba di rumah melainkan berita akan menikahnya Mey yang harus ku kabarkan segera. Aku belum siap melihat respon bang Ilyas.
"Assalamualaikum"
Itu suara bang Ilyas.
"Wa'alaykumussalam."
Bergegas aku mengatur makanan yang terletak di atas meja demi meredakan rasa gugup. Menunggu bang Ilyas masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU (BERHENTI) MENUNGGU ✔
Spiritual(15+) Pertemuan kita adalah takdirku. Untuk bertahan ataupun melepaskan adalah pilihanku.