بسم الله الرحمن الرحيم🌹🌹🌹
"Menurut kau bagaimana Sal?"
"Aku bisa apa bang? Kalau dia memang ingin mengundurkan diri." aku bersusah payah untuk bersikap biasa.
"Dia bilang alasannya mengundurkan diri bukan karena persyaratan dari kau, tapi memang keluarganya yang meminta berhenti, terutama ibunya."
"Apa karena aku yatim piatu bang, dan kita hanya hidup berdua?"
"Jangan su'uzhon, meski dia tidak mengutarakan alasan jelasnya."
"Astaghfirullah." lirihku. "Aku hanya ingin memastikan saja bang."
"Barangkali dia bukan jodoh yang Allah takdirkan untuk kau."
"Hmmm,,, aku ingin istirahat bang." tanpa menunggu respon bang Ilyas, aku beranjak menuju kamar.
"Bagaimana dengan hati kau, Sal."
Langkahku terhenti mendengar ucapan bang Ilyas. "Akan aku obati bang." sesak didada membuatku ingin segera berada dikamar, dan aku kembali melangkah.
Ku rebahkan tubuhku diatas pembaringan. Dadaku sesak sekali rasanya, debarnya berbeda dari biasanya. Kuhirup udara dengan rakus, agar isak tak lolos dari bibirku. Sungguh aku tak ingin menangis, apalagi menangisi seorang yang bukan bagian dari hidupku. Tetapi pertahanku tak berarti apa-apa, pada akhirnya cairan bening itu pun luruh. Teringat kembali percakapan pekan lalu.
"Tanpa harus membuang-buang waktu, Akhi Alfa silahkan. Apa yang ingin kau sampaikan pada Salwa atau padaku sebagai wali dari Salwa." bang Ilyas memecah keheningan. Sementara aku menunduk. Kugenggam erat tangan Mey.
"Jazakumullah khair bang, sudah bersedia memenuhi keinginan ana untuk bertemu. Ana hanya ingin memperjelas saja bahwa ana akan tetap tinggal bersama ibu ana, merawat dan menjaga beliau. Karena bakti seorang istri ada pada suaminya dan bakti suami yaitu pada ibunya. Ana merasa sangat egois jika kelak setelah menikah ana tidak bersama beliau yang hanya seorang diri. Jadi jika keinginan ana ini tidak bisa diterima oleh ukhti Nisa. Ana memilih untuk mundur."
"Secepat itu Al? tak ingin mencari jalan keluar lain? win win solution mungkin?" suara bang Ilyas terdengar berbeda.
"Itu sudah keputusan ana bang. Ana harus menjaga ibu, bukan hanya karena amanah dari almarhum ayah tapi juga sebagai bakti ana pada beliau. Jika seseorang mau menerima ana, maka dia juga harus mau menerima ibu ana."
"Baik. InsyaAllah abang paham dan sangat menghargai keputusan kau. Sekarang bagaimana dengan kau Salwa?" Bang Ilyas bertanya padaku yang sedikit jauh dari jangkauannya.
Dengan degup yang tak beraturan, aku bersiap untuk menyapaikan pendapat. Bismillah. "Ana pribadi setuju dengan pendapat akhi Alfa. Ana tidak mungkin melarang seorang anak untuk berbakti pada ibunya. Justru ana akan mendukung keingan mulia tersebut. Namun dalam pandangan ana, bakti seorang suami pada ibunya tetap bisa berjalan meski tidak berada di atap yang sama. Berbeda dengan seorang istri yang harus terus berada dekat dengan suaminya, melayani, memenuhi semua kebutuhan suaminya dan taat pada suaminya. Lalu, kenapa tidak tinggal bersama saja dengan mertua? Itu karena ana ingin membangun keluarga yang mandiri. Besar kemungkinan jika tinggal bersama mertua, beliau akan kerepotan mengurus banyak hal. Beliau sudah kerepotan mengurus anak dan keluarga hingga usia senja, lalu akan direpotkan lagi dengan urusan rumah tangga anaknya? Ana tidak tega.
"Disini ana ingin memberikan solusi lain, atau mungkin syarat dari ana bahwa ana bersedia untuk tinggal bersama suami dan mertua tetapi tidak dalam waktu yang lama. Setelahnya ana dan suami harus berusaha hidup mandiri, meskipun tinggalnya tidak jauh dari lingkungan mertua, tidak masalah. Itu saja dari ana." Aku menyelesaikan kalimatku tanpa sedetik pun melepas genggamanku dari tangan Mey yang sejak tadi hanya diam mendampingi. Lega rasanya.
"Bagaimana Al?"
"Ana juga paham dengan kekhawatiran Ukhti Nisa, bang. Apa boleh ana memikirkannya lebih dulu dan mendiskusikannya dengan keluarga ana bang?"
"Kau perlu waktu berapa lama?"
"Sepekan?"
"Tidak bisa dipercepat? Harusnya dia yang membuat kau menunggu. Bukan sebaliknya."
"Ana perlu waktu untuk mendiskusikannya bersama ibu bang."
"Baiklah. Hanya sepekan tidak lebih. Jika hasilnya positif, kau datang bersama dengan keluarga kau kerumah. Kalau perlu bawa penghulu sekaligus."
"Bang!" aku mendongak menatap bang Ilyas dengan mata membulat.
"Serius bang? secepat itu?"
"Kau tidak siap? Kau ini lelaki apa bukan? Lelaki sejati itu sigap dan siap kapanpun diminta oleh wali wanita."
"Ana siap bang insyaAllah, hanya saja bagaimana dengan adik antum?"
"Oh iya, dia itu adik emas ku. Kalau bisa janganlah kau cepat-cepat ambil dia dariku." Bang Ilyas tersenyum datar.
"Kau ini lelaki apa bukan bang? tidak konsisten. Lelaki itu yang dipegang ucapannya." Alfa membalas perkataan bang Ilyas.
Tak lama setelahnya terdengar suara rintihan, kebiasaan bang Ilyas kumat. Tangannya baru saja mendarat dikepala Alfa. Membuatku dan Mey tersenyum iba.
Sejak hari itu, bunga-bunga bermekaran dihatiku. Bahagia, lantaran aku merasa langkah kami semakin mendekat. Penantianku selama bertahun-tahun akan segera berakhir. Aku menunggunya dan ternyata itu tidak sia-sia. Racun-racun asmara menggelayutiku hingga aku lupa bahwa angan manusia tidak selalu berakhir indah. Manusia hanya bisa berencana, Allah sebaik-baik Perencana. Berharap pada manusia hanya akan mendatangkan kecewa sedang berharap pada Allah Azza wa Jalla akan berakhir indah.
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب
"Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (QS. Asy-Syarh : 8)Sayyidana Ali bin Abi Thalib berkata
"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang lebih pahit adalah berharap kepada manusia."
Lalu disini lah aku berada, menghapus jejak-jejak air mata. Bahagiaku kini terganti oleh luka. Aku tidak mengantisipasinya sedari awal. Aku terlalu asik dibuai angan semu semata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU (BERHENTI) MENUNGGU ✔
Espiritual(15+) Pertemuan kita adalah takdirku. Untuk bertahan ataupun melepaskan adalah pilihanku.