▪️3▪️

289 28 10
                                    


بسم الله الرحمن الرحيم

▪️▪️▪️

"Sal, Salwa. Cepat kesini"

Bergegas aku menghampiri bang Ilyas. "Ada apa?"

"Berikan foto ikhwan idaman kau itu. Aku akan segera mencarinya"

"Aku tidak memiliki fotonya bang. Sungguh tidak etis sekali jika aku menyimpan foto lelaki yang bukan mahramku"

"Akun social media?"

Aku menggelengkan kepala

"Lalu bagaimana caranya aku menemukan ikhawan itu? Jangan mengulang jawaban kemarin" rautnya frustrasi.

Aku menghembuskan napas. Membatalkan jawaban yang sudah terlintas dalam pikiran.

"Dimana kau sering melihatnya?" bang Ilyas kembali bertanya.

"Di kampus bang, dimana lagi. Tetapi sekarang dia jarang terlihat karena sudah menjadi mahasiswa semester akhir"

"Kalau begitu aku akan datang ke kampus kau."

"Untuk apa? Tolong jangan lagi tebar pesona di kampusku."

"Su'udzon. Abang kau ini ingin mencari ikhwan itu. Masalah tebar pesona, kau harus mengakui bahwa tanpa di tebar pun, pesona abang kau ini sudah menguar kemana-mana."

Aku memutar bola mata, malas.

"Kapan abang ke kampus?"

"Kalau ada waktu luang."

"Saat ke kampus, tolong jangan menampakkan diri di depan akhwat-akhwat yang mengenaliku karena aku tidak ingin meladeni semua pertanyaan-pertanyaan mereka."

"Tidak usah di jawab. Minta saja mereka untuk ghazwul bashar. Manjaga pandangan mereka."

Aku diam, tidak menanggapi.

"Sekarang sebutkan bagaimana ciri-cirinya"

"Sekarang?"

"Bukan. Tahun depan." bang Ilyas tampak geram.

"Tetapi aku malu bang."

"Kau malu menyebutkan ciri-ciri seseorang, dan berani memintaku untuk melamarnya?"

"Bukan melamar, bang. Sudah berapa kali kukatakan." protesku sungguh aku tidak terima dengan pilihan kata yang dia ucapkan.

"Oke sekarang sebutkan jika kau ingin proses yang cepat."

Aku menarik napas, mencoba reka ulang sosok yang tertanam didalam ingatan.

Kulihat bang Ilyas menggelengkan kepala, "Tidak ku sangka ternyata kau sangat pecicilan, menyukai seseorang hingga menghetahui sosoknya secara detail. Sekarang bukan hanya akhwat-akhwat itu saja yang ku minta untuk ghazwul bashar tetapi dirimu juga."

Aku menunduk malu. "Kau ingin membantu atau menghakimiku bang?"

"Baiklah tunggu kabar dariku. Aku akan mengurus secepatnya agar pikiran dan matamu tidak menjelajah kemana-mana."

Aku mendelik, menatap punggung bang Ilyas yang semakin menjauh.

***

Mey:

Sibuk Sal?

Me:

Tidak. Ada apa?

Mey:

Mau menemaniku ke Gramedia?

Me:

Mau, asal aku mendapatkan buku gratis 😁

Mey:

Pamrih.

Me:

😀

Mey:

Bersiaplah. Ku jemput.

Me:

Alhamdulillah...

"Buku yang kau beli pekan lalu sudah kau tuntaskan?" tanyaku saat kami memasuki Gramedia

"Sudah. Alhamdulillah" jawabnya tanpa menatapku karena matanya sudah terarah pada buku yang ada dalam genggaman.

"Aku kesana Mey." tunjukku pada rak yang ada di tengah ruangan. Rak Best Seller.

"Oke."

Aku mengambil satu per satu buku yang manarik menurutku, usai membaca sampul bagian belakang, aku menaruhnya kembali. Aku tidak ingin menyia-nyiakan momen gratis ini oleh karenanya aku harus selektif memilih buku yang benar-benar menarik untuk kubaca. Setelah beberapa menit lamanya, hingga kakipun terasa pegal, aku menemukan buku yang ku inginkan. Kubaca ulang judulnya 'Khadijah' karya Sibel Eraslan. Sebenarnya dirumah aku sudah memiliki sirah ibunda Khadijah. Namun yang kupilih ini berbeda karena disajikan dalam bentuk novel. Terlebih dengan pilihan kata yang sangat apik membuatku tidak ingin melepasnya.

Aku mengedarkan pandangan, mencari Mey untuk menunjukkan buku pilihanku. Pandanganku berhenti di depan rak kaca, disana tampak sosok yang sedang asik bercengkrama dengan seorang wanita disampingnya. Dia, ikhwan yang ku ajukan pada bang Ilyas.

"Sal, kau sudah dapat bukunya?"

Suara Mey mengagetkanku, "Su-sudah. I- ini novel." jawabku terbata-bata.

"Apa yang kau lihat disana?" tatapan Mey mengikuti arah pandangku.

"Ayo ke kasir." aku menarik tangan Mey.

"Khadijah lagi." ucap Mey. Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan.

Aku tersenyum, mengangguk. Kulihat dua buah buku berada dalam dekapannya.

"Mey, aku tunggu diluar." kusodorkan novel di tanganku.

Mey menyambut. Sebuah anggukan diberikan padaku.

Aku melangkah keluar, meninggalkan Mey yang berbaris menunggu antrian. Ku dudukkan tubuhku diatas kursi panjang. Dari sini, aku dapat melihat Mey ada diantrian ketiga. Kuhembuskan napas berat. Entah apa yang terjadi, rasanya aku tidak bersemangat. Apa karena sosok yang kulihat di dalam tadi? Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran aneh yang menyerang. Payah sekali, jika hanya karena dia moodku jadi berubah.

Aku kembali menatap antrian mencari keberadaan Mey. Masih di posisi yang sama, antrian ketiga. Ku edarkan pandangan ke sekeliling, ramai sekali orang kelaur-masuk Gramedia, Alhamdulillah semoga presentase membaca negeri ini meningkat dan, Stop! lagi netraku menangkap sosoknya. Sejak kapan dia ada disitu? Duduk di kursi yang sama denganku. Jantungku memompa dengan cepat, meskipun tercipta jarak diantara kami, tetap saja rasanya sangat tidak nyaman. Apa yang harus aku lakukan? Menyapa karena dia seniorku? Terlebih kami sering terlibat dalam organisasi yang sama. Tetapi apa dia mengenaliku? Ah rasanya tidak. Oke, aku memutuskan untuk diam sambil memainkan ponsel ditangan.

Ekor mataku melihat seseorang datang menghampirinya, oh itu akhwat yang tadi. Samar kudengar percakapan diantara mereka. Setelahnya mereka pergi menjauh. Aku menghembuskan napas lega.

"Ayo Sal."

Ku ikuti langkah Mey dari belakang. 

▪️▪️▪️

15:33

AKU (BERHENTI) MENUNGGU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang