▪️6▪️

210 14 0
                                    

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumusslam wa rahmatullah. Masuk Mey."

Mey mengangguk, "Bang Ilyas tidak ada dirumah bukan?"

"Iya tenang saja. Kau takut sekali pada bang Ilyas."

"Bukan begitu Sal. Kau pahamlah, kalau status kita ini sebagai sepupu. Bukan mahram. Jadi aneh saja rasanya kalau terlalu sering bertemu dia. Takut menimbulkan fitnah."

"Masya Allah wanita shalihahku." godaku mencubit pipi Mey.

"Aaamiiin. Sal, aku sudah berulang kali memperingatkan kau untuk tidak mencubit pipiku bukan?" Mey menatapku geram.

"Kau tenang saja Mey, tanganku ini bersih. Tidak akan menyisakan bakteri di wajah mulus kau."

"Kau tidak bisa menjamin itu Sal, bagaimana jika karena kebiasaan kau ini membuat wajahku berjerawat."

"Aku punya solusinya jika hal itu terjadi. Cukup dengan berwudhu saja, maka wajahmu akan berseri."

Mey tersenyum, balas mencubit kedua pipiku, "Kau selalu punya jawaban untuk membungkamku Sal."

Lalu kami tertawa bersama, "Kau ingin minum apa Mey?" tanyaku kemudian.

"Jus mangga ada? Jus alpukat dan jus jeruk sekalian." dengan entengnya dia mengatakan itu.

"Sayangnya kau hanya bisa memilih antara air putih atau teh."

"Kalau begitu tidak perlu menanyakan apa yang ku inginkan. Cukup sediakan apa yang kau punya di dapur."

"Sebenarnaya hanya ingin menunjukkan sopan santun antara tamu dan tuan rumah." Kekehku.

"Percuma sopan santun jika pada akhirnya kau tidak bisa mewujudkan keinginan tamu."

"Sebenarnya aku bisa mewujudkan apa yang kau minta, tetapi berhubung kau bukan tamu spesial jadi ku urungkan niatku itu."

"Kalau begitu aku pulang saja. Membuat jusku sendiri dirumah."

Aku terbahak melihat ekspresi Mey. "Aku bercanda Mey. Sensitif sekali kau hari ini."

"Benar. Aku peringatkan kau untuk tidak memangcing emosiku karena tamu bulananku sedang berkunjung."

"Oh pantas. Jadi kau ingin minum jus apa? Aku akan keluar mencarikan. Kali ini aku serius."

"Tidak usah berlebihan Sal. Cukup tuangkan air putih aku sudah sangat bersyukur."

"Tidak. Kita diajarkan untuk memualiakan tamu. Jadi sebisa mungkin tuan rumah harus melayani tamunya dengan baik."

"Ah iya seperti kisah Ummu Sulaim dan Abu Thalhah." Mey menatapku berbinar.

"Benarkah? Bagaimana kisahnya?"

Mey menegakkan tubuhnya pada sandaran kursi. Menarik napas dan mulai bercerita, "Pada suatu hari Abu Thalhah memasuki masjid yang di dalamnya ada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam. Ia melihat wajah Beliau yang pucat seperti sedang menahan lapar. Lalu, Abu Thalhah kembali kerumahnya dan berkata kepada Ummu Sulaim "Aku telah mendengar suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan lemah yang aku ketahui beliau sedang lapar; apakah engkau mempunyai sesuatu?" Ia menjawab, "Ya." Lalu ia mengeluarkan sejumlah roti yang terbuat dari gandum. Abu Thalhah berkata "Buatlah makanan" ia kemudian membisikkan kepada Anas untuk mengundang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam untuk makan di rumah mereka. Setelah Anas menyampaikan undangan itu Rasulullah berkata kepada para sahabat yang juga sedang menahan lapar "Berdirilah!" Beliau beranjak dan anas pun beranjak dari hadapan mereka hingga sampai kepada Abu Thalhah, lalu mengabarkan kepadanya. Abu Thalhah berkata, "Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah datang bersama sejumlah orang, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk menjamu mereka." Ia menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Lalu Abu Thalhah pergi hingga bertemu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan Abu Thalhah menyertainya, lalu beliau berkata, "Kemarilah wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau miliki?" Maka ia membawa roti tersebut. Lantas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk membukanya, dan Ummu Sulaim membuat kuah untuk menguahinya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan pada makanan itu apa yang hendak dikatakannya, kemudian beliau bersabda, "Izinkanlah untuk sepuluh orang!" Maka makanan itu mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, lalu mereka keluar. Kemudian beliau bersabda, "Izinkanlah untuk sepuluh orang!" Maka ia mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang. Lalu beliau bersabda, "Izinkahlah untuk sepuluh orang!" Maka ia menginzinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian mereka keluar. Selanjutnya beliau mengatakan, "Izinkan untuk sepuluh orang!" Kemudian mereka semua makan hingga kenyang. Mereka semua berjumlah 70 atau 80 orang."**

"Masya Allah." aku takjub mendengar kisah yang Mey sampaikan.

"Jadi selain keberkahan yang Rasulullah bawa, dari kisah ini juga kita dapat merasakan keikhlasan keluarga tersebut yang mau menjamu tamunya meski mereka tidak memiliki makanan yang cukup."

"Dan pada akhirnya makanan yang sedikit itu mampu mengenyangkan puluhan orang."

Aku mengangguk setuju sembari melafadhkan Shalawat kepada Rasulullah dan para sahabat beliau.

"Oh iya Mey, kau kesini untuk mengambil buku bukan? Ambil saja dikamar. Aku membuatkan hidangan untuk kau terkebih dulu."

"Baiklah." Mey berjalan ke kamarku sedangkan aku melangkah menuju dapur.

"Sal, dimana kau letakkan bukunya?" teriak Mey kemudian.

"Diatas meja"

"Tidak ada"

"Oh lupa ada di dalam tas."

Hening. Aku melanjutkan kegiatanku. Setelah siap, aku membawa minuman beserta makanan ringan ke dalam kamar.

"Apa yang kau lakukan Mey?" tegurku

"Sedang membaca biodata seseorang."

Bergegas aku meletekkan nampan diatas meja belajar, "Mey berikan map itu padaku." aku mulai panik.

"Tidak Mau"

"Mey." aku bergerak cepat hendak merebut map dari tangannya namun dia lebih gesit menghindar.

"Nama: Muhammad Al Fatih Najmi. Usia: 23 tahun. Oh jadi ini ikhawah yang menjadi pelopor kau untuk memilih sosok ibunda Khadijah kala itu?" Mey tersenyum menggoda.

Aku tersipu. "Mey berikan. Aku tidak mengizinkan kau untuk membacanya."

"Kau mengizinkanku untuk membuka tas itu. Jadi ku anggap itu sebuah persetujuan untuk melihat semua isi yang ada didalamnya. Visi: Membangun keluarga yang berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah." Mey melanjutkan aksi membacanya.

"Mey, hentikan!" ku lihat Mey tertawa. Puas sekali dia menggodaku.

"Kau sedang ta'arauf dengan seseorang dan tidak memberitahuku Sal?"

"Hanya ta'aruf Mey. Tidak pantas di sebarkan. Jika Walimah baru dikabarkan pada khalayak." jawabku santai. Aku menyerah nyatanya Mey sudah tau dan tak ada yang bisa ku rahasiakan lagi darinya. 

"Dan kau adalah sepupu paling jahat jika mengabariku saat walimah akan dilangsungkan."

Mau tidak mau akupun tertawa melihat ekspresinya.

▪️▪️▪️

09:18


**Al-Manhaj.or.id

AKU (BERHENTI) MENUNGGU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang