▪️9▪️

147 10 4
                                    

Aku menutup kedua telingaku dengan kuat. Berharap agar tak ada suara yang tertangkap oleh indraku, terutama suara tawa Mey. Berungkali aku memintanya untuk diam dan berhenti menggodaku namun sama sekali tak digubris olehnya. Ia tampak sangat puas melihat ekspresi kesalku.

"Bahagia sekali kau Mey." itu suara bang Ilyas yang baru pulang dari masjid, ia lalu duduk disampingku.

"Bahagia aku bang, lihat Salwa bahagia." jawab Mey, tawanya sudah menghilang.

"Wajahnya menyeramkan begitu kau bilang bahagia?" bang Ilyas menatapku dengan alis terangkat. Ucapannya membuat ku semakin murka dan Mey terkekeh menahan tawa.

"Kau tahu bang, Salwa baru saja bersedekah, dan balasannya Allah balas saat itu juga." ucap Mey penuh semangat.

Kulihat bang Ilyas menggeleng, "Kalian ini sama saja, bertele-tele kalau berbicara. Langsung ke intinya."

Semangat Mey sirna seketika, namun ia tetap menceritakan peristiwa siang tadi pada bang Ilyas. Tentang kami yang bertemu seorang ibu. Dia ingin meminjam payung untuk menghampiri taksi online yang sudah menunggu dan akupun meminjamkan payung milikku. Kami membantu ibu itu membawa sebagian barang-barangnya. Aku membawa kantung belanja dan Mey yang memegang payung. Sementara ibu itu berjalan lebih dulu mencari taksi pesanannya. Lalu aku meminta ibu itu membawa payungku lantaran dia berkata bahwa gang rumahnya lumayan sempit sehingga mobil tidak bisa mengantar sampai di depan rumah. "Ibu itu meminta nomor atau alamat rumah Salwa bang untuk mengembalikan payung, tetapi Salwa menolak. Lalu aku bilang, cukup kasih doa saja bu, karena sepupu saya ini jomblo. Eh, si ibu malah menawarkan Salwa untuk menikah sama anak laki-lakinya. Sedekah yang langsung berbalas bukan?" wajah bahagia Mey terpancar kala mengakhiri ceritanya.

"Payung yang abang belikan waktu SMA dulu Wa?"

"Iya bang, itu payung kesayangan Salwa." bukan aku yang menjawab pertanyaan bang Ilyas melainkan Mey yang terlalu bersemangat.

"Aku khawatir ibu itu dan barang-barang miliknya basah sebelum sampai dirumah. Nanti kau gantikan ya bang?" ucapku pada bang Ilyas sembari memegang lengannya.

"Kenapa abang? Minta ganti sama anak ibu itu lah. Bakal jadi calon suami bukan?"

Aku memukul lengan bang Ilyas. Dia sama saja seperti Mey. Bahkan lebih menjengkelkan.

"Tapi, kalau kau sama anaknya ibu itu, si Alfa mau di kemanakan? Padahal dia ingin nazhor agar hatinya semakin mantap katanya."

"Serius bang?" tanyaku tak yakin, karena biasanya ucapan bang Ilyas harus dipastikan berkali-kali keakuratannya.

"Serius lah, mau tidak?"

"Terkait pertanyaanku waktu itu bagaimana bang?"

"Dia ingin bertemu sekaligus membahas perihal itu."

"Nazhornya nanti saja bang, kau sampaikan saja pendapatku dan bagaimana pandangannya. Setelah jelas dan aku merasa mantap maka aku bersedia untuk nazhor. Dan juga kau tidak perlu membuat grup chat untuk kami, bang. Kau sebagai perantara sudah lebih dari cukup."

Bang Ilyas tampak berpikir, "Ok. Insya Allah akan dilaksanakan sesuai permintaan anda bu. Dan kau Mey, sudah ada yang melamar?"

Kini arah pandangku mengikuti arah pandang bang Ilyas. Kami menatap Mey yang hanya menyimak pembicaraan kami. Kulihat ia tampak gelagapan lantaran mendapat pertanyaan dari bang Ilyas yang tiba-tiba.

"Aku? Aku nanti saja. Menunggu Salwa selesai menikah." Mey tersenyum padaku.

"Bagaimana kalau Allah takdirkan kau lebih dulu menikah Mey. Kita tidak ada yang tahu bukan?" Sanggahku.

"Iya Salwa, tapi semoga kau yang lebih dulu menikah ya."

Aku mengaminkan doa Mey.

"Berarti sudah ada yang melamar?" bang Ilyas kembali bertanya.

"Hah? Alhamdulillah belum bang." Mey kembali gelagapan.

"Kau mau abang carikan calon juga?"

"Iya, Mey bang Ilyas punya banyak koneksi. Barangkali salah satu dari mereka adalah jodoh kau." Ucapku antusias.

Mey tersenyum simpul, "Tidak perlu bang. Terimakasih."

"Insya Allah jika Salwa telah menikah dan kau belum ada yang melamar Mey, abang yang akan mencarikan calon untuk kau."

"Kau menginginkan adik-adik kau menikah sementara kau sendiri bagaimana bang? Apa sudah ada akhwat yang menerima cv kau?" tanyaku menatap bang Ilyas.

"Belum" jawabnya santai yang membuatku geram karena ia terlalu memperdulikan kepentingan orang dibanding kepentingan dirinya sendiri.

"Mau aku yang mencarikan bang?"

"Boleh, kalau bisa orang-orang terdekat kau, Wa."

"Maksudnya akhwat di LDK?" aku meninggikan suara lantaran bang Ilyas berlalu begitu saja. Meninggalkan aku dan Mey tanpa permisi. Terlebih pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban.

***

AKU (BERHENTI) MENUNGGU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang