Prolog

74 5 0
                                    

Hidup itu rumit. Tak melulu seru, karena terkadang kelu. Tak tentu indah, karena terkadang bermasalah.
Seperti cinta yang sulit diterka. Terkadang terisi tawa, terkadang penuh lara. Terkadang membaru, terkadang membiru. Terkadang merubah, terkadang pun membelah.
Ya, sudahlah, jalani saja!

🦋 🦋 🦋


"Gue pengen jadi kupu-kupu."

Ujaran tiba-tiba itu menimbulkan tatapan binggung serta kernyitan di dahi lawan bicaranya.

"Kupu-kupu?" Hanya anggukan singkat yang menjawab.

"Kenapa?"

Gadis itu terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan lelaki di sampingnya. "Selain cantik, gue pun ingin terbang bebas kemana saja yang gue suka. Semuanya suka-suka gue, gak ada yang ngatur dan ngomelin gue," ujarnya sembari menerawang ke depan. Bibirnya mengukir senyuman manis.

"Pasti akan sangat menyenangkan ...."

"Gue rasa lo harus pertimbangin keinginan lo itu." Nazwa spontan menatap lelaki di sampingnya yang menepuk pundaknya. Tanpa menunggu sahutan darinya, lelaki itu kembali berujar. "Proses sebelum menjadi kupu-kupu yang cantik itu nggak gampang, Wa. Susah banget!"

Nazwa menatap tak suka Rizki yang tertawa pelan- jelas sekali meremehkannya.

"Nih, ya, gue kasih tahu." Lelaki itu berdehem pelan. "Sebelum menjadi kupu-kupu, lo harus menjadi ulat yang jelek. Menurut lo, apa lo siap setiap saat dihina dan dibenci karena merusak tanaman? Bahkan, sangking bencinya, ada yang tega membunuh 'si ulat yang menjengkelkan' itu dengan sekali injak. Apa lo siap?"

Nazwa menghela nafas. Tatapan matanya kini beralih kepada rerumputan yang dipijaknya. Bibirnya tertutup rapat, tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan lelaki di sampingnya.

"Tuh 'kan, lo diam aja! Berarti belum siap." Rizki tersenyum singkat, membuat Nazwa membuang muka. "Oke, proses selanjutnya. Fase kepompong."

"Nah, ini lebih susah! Saat menjadi kepompong, apa lo siap dan berani terkurung di sebuah rumah super kecil yang sangat sempit, yang tergantung di dahan pohon?" tanya Rizki lagi, Nazwa tetap bergeming. Rizki menghembuskan nafas panjang kemudian melanjutkan penjelasannya. "Ketika ada bencana alam, badai contohnya, yang bisa lo lakukan hanya pasrah, berdiam diri, dan ketakutan. Nggak ada satupun orang yang bisa bantu lo karena di saat itu lo harus berjuang sendirian, benar-benar sendiri! Tanpa Bunda dan Ayah lo. Apa lo siap, Wa?"

Sekali lagi, pertanyaan Rizki hanya dijawab helaan nafas berat oleh Nazwa. Gadis itu semakin menunduk dalam, jelas sekali tengah bersedih.

Ah, Rizki jadi merasa bersalah telah berkata sedemikian. Alhasil, yang ia lakukan ialah menggaruk tengkuknya.

"Wa, sorry. Gue nggak bermaksud meremehkan lo. Gimana, ya, aduh. Itu, gue hanya-"

"Oke, gue paham," potong Nazwa dingin. Setelah melirik Rizki sekilas, ia kembali menghela nafas. Mungkin lelaki itu benar, Nazwa terlalu buruk untuk menjadi seekor kupu-kupu yang cantik jelita. Ralat, teramat sangat buruk. "Gue nggak pantas jadi kupu-kupu."

"Bukan gitu, Wa. Cuma, gue rasa, lo nggak perlu jadi kupu-kupu. Cukup jadi diri lo aja. Karena bagi gue, lo jauh lebih cantik dari seekor kupu-kupu."

Nazwa tak menyahut, hanya menatap Rizki yang tersenyum manis.

Omongan lo adalah tantangan untuk gue. Gue tetap ingin menjadi kupu-kupu, seburuk apapun gue. Gue ... akan menjadi seperti kupu-kupu. Pasti!

Merasa tak mendapat respon, lelaki berjaket merah itu menghela nafas.
"Oke. Kalau lo tetap ingin jadi kupu-kupu, gue akan jadi anginnya. Biar nanti gue bisa mendampingi lo saat lo terbang bebas di angkasa. Setuju?" ujarnya sembari mengangkat jari kelingkingnya dan tak lupa tersenyum manis.

Tentu saja, Nazwa tak merespon.

KanazwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang