10. CHANCES•AWAL-aivyllure

27 5 1
                                    

"Falling in love is not rational.

It's madness. A beautiful, wonderful moment of magnificent insanity."

― Michael Faudet,

•×•

Masa muda merupakan masa yang paling indah. Begitu yang orang-orang katakan. Ketika tiba waktunya seseorang untuk menjadi remaja, mereka yang semula mengatup menyembunyikan warnanya akan merekah, dengan bangga dan gagah memamerkan dirinya. Begitu megah dan elok! Beragam warna dan aroma yang bersama derasnya angin waktu membawa kisah-kisah segar, begitu rapuh dan unik.

Tetapi masa remaja membawa bimbang dan takut. Tak jarang banyak yang gagal mekar dengan sempurna, hanya fokus memanjakan dirinya dengan kepuasan daging. Tak sedikit juga yang gugur ditengah-tengah masa kejayaannya itu karena birahi dan ego, melahirkan dusta dan sesal bagi diri.

Setelah mengakhiri tulisanku, aku pun menutup sampul belakang buku catatanku, sebelum teman sebangkuku, Agnes mengambil buku itu dari depanku dan membuka lembaran terakhirnya.

Setelah membawanya dengan seksama, Agnes pun memberikan komentar. "Rumit banget, mau nangis bacanya," raut wajah Agnes membentuk ekspresi seperti orang kebingungan. "Ada apa, tiba-tiba menulis beginian? Kasmaran lu?"

"Hih," alisku berkerut bersamaan dengan lenganku menyilang di dadaku. Otot wajahku serentak menjelaskan betapa aku menghindari romansa remaja. Karena yah, cinta itu memabukkan, katanya. Setiap orang yang jatuh cinta pasti akan berubah karenanya, dibutakan dan dikendalikan oleh cinta, melakukan sesuatu atas nama cinta; sebodoh apapun itu. Aku mengakui hal itu, karena yah, aku pernah merasakannya. Cinta pertamaku.

Kami sudah saling menyukai sejak duduk di bangku SD, dan sudah menjalin hubungan asmara ketika SMP. Banyak hal terjadi di dalam hidup kami berdua, tetapi tidak banyak hal spesial yang sekiranya pernah terjadi sebelum akhirnya aku mesti mengakhiri hubungan itu. Semuanya yang terasa manis, berubah pahit ketika kami memulai hal yang baru. Aku benci bagaimana seseorang bisa berubah karena cinta, bisa dibutakan dan dikendalikan oleh cinta, dan melakukan sesuatu yang bodoh atas nama cinta. Orang itu adalah aku.

Ahh... Memikirkannya saja sudah cukup membuatku bad mood

"Jadi gini yah," aku memulai penjelasanku, "kayanya ada yang tertarik sama aku di kelas ini."

"Najis, mana ada, ke-geeran lu," Agnes menyanggah pendapatku. "Siapa tuh."

"Apaan, tadi nolak sekarang penasaran." Aku memberi isyarat kepadanya untuk mendekatkan telinganya ke bibirku, untuk aku berbisik. Tanpa melihat keadaan sekitar, aku cepat-cepat membisikkan nama orang itu kepadanya.

"Prastha"

Kepala Agnes berputar cepat menghadap wajahku. Ekspresinya jelas seolah meminta bukti kepadaku.

Aku menghela nafas, "sejak insiden K-drama kemarin itu, dia tiba-tiba jadi sering nyapa aku, sering nawarin buat traktir aku, sering manggil aku tiap lewat," aku melayangkan telapakku ke dahiku, memijat kepalaku, kemudian menghela nafasku, "intinya aku jijik sama cinta-cintaan."

Ya, insiden K-drama (baca: kantin drama). Sekitar 2 hari yang lalu, aku telah melakukan hal yang memalukan. Hari itu, kantin sekolah sangat ramai dan sesak. Demi mendapatkan sarapan bagi aku dan temanku, badan kecilku mesti bergulat dengan masamnya bau keringat anak muda. Setelah berhasil menggusur tubuh-tubuh bongsor orang di depanku, aku segera membeli apa yang aku inginkan; segelas poci jeruk, dua bungkus nasi, dan setangkai sosis bakar. Tetapi, masalah berikutnya datang dari Prastha, teman sekelasku yang katanya seorang pangeran kelas. Seolah disengaja, seseorang menyenggolku dengan keras, mendorong tangan kananku yang membawa gelas poci, dan melayangkan minuman mahal itu ke baju putih Prastha.

"Iih, kok gitu sih," bahuku disenggol oleh Agnes, memprotes, "bukannya bagus kalau ada yang suka sama kamu?"

"Nggak gitu, ness," aku menurunkan kepalaku, menyandarkannya kepada meja seolah sedang mencium permukaan kayu itu, "aku nggak mau pacaran-"

"PDKT aja dulu,"

"Big skip,"

Agnes menjatuhkan bahunya, tetapi dia tidak menyerah, "masa lu mau jadi jomlo sepanjang masa SMA ini sih. Gabisa gitu loh."

Aku menyampingkan kepalaku ke kanan, melihat Agnes, "gabisa kenapa deh?"

"Kamu itu primadona, Yo. Kamu tuh udah cantik, pintar, judes lagi," jarinya menghitung, "lambat laun juga pasti ada yang ngajak jalan."

Aku terdiam, berpikir bagaimana aku harus menjelaskan kepada temanku ini, apa yang sedang mengacau di pikiranku.

"Aku nggak mau hatiku bercabang dua."

Agnes segera menangkap maksud dari perkataanku. "Masih gabisa move on, yaa?" Aku mengangguk mengiyakan. Jari Agnes berjentik, merayakan momen dimana ia tumben menjadi pintar. "Coba aja dulu pacaran. Siapa tahu cocok kan."

"Tapi," nada bicaraku sedikit menanjak, "bagaimana kalau suatu hari aku ketemu dia?"

"Hmm..." Tangan Agnes berpangku pada pundakku, menandakan bahwa saat ini Agnes sedang serius, "kalaupun kamu ketemu, kamu yakin dia masih membawa perasaan yang sama?"

Aku terdiam. Sungguh, aku tidak tahu harus menjawab apa. Mengajak balikan? Tidak mungkin. Kata-kata Agnes menggema menagih jawaban. Aku sendiri tidak yakin kalau dia masih membawa perasaan yang sama.

Seperti menyadari apa yang aku rasakan, Agnes memecah kebisingan canggung itu dengan menghela nafas. "Coba saja dulu, Prastha orangnya ok kok. Siapa tahu cocok."

"Terus kalau udah cocok?"

"Ya, lanjut. Move on." Agnes menepuk bahuku sekali lagi, memantapkan diriku untuk maju meninggalkan Jo yang membayangi masa laluku.

Benar juga ya, pikirku. Mungkin kalau aku memiliki kekasih, aku jadi punya alasan untuk move on.

Begitu pikirku...

• ELYSIAN • ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang