I. Dia Libra

23 3 0
                                    

𝐭𝐞𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚★︎!!!

🛹

Hari sudah mulai gelap, selain matahari yang mulai tenggelam awan hitam yang menyelimuti langit juga jadi penyebabnya.

Sea mencium punggung tangan Sandra, wanita paruh baya yang dipanggilnya ibu. Saat ini Sea sedang berada di salah satu kedai es krim milik Sandra.

Sandra mengelus rambut anaknya yang berwarna coklat. Sambil melemparkan senyum hangat miliknya.

"Yakin nggak mau diantar Nessa, ini udah mau gelap lho sayang." Sandra menunjukkan raut khawatirnya.

Sea tersenyum seraya menggeleng. "Nggak usah bu, pelanggan lagi banyak. Takutnya yang lain kerepotan."

"Ya udah bu Sea pulang dulu ya, assalamualaikum" lanjutnya sambil mengayuh sepedanya meninggalkan halaman parkir kedai.

"Waalaikumsalam, hati-hati ya!" Sandra menatap sebentar punggung anak gadisnya yang mulai menjauh sebelum berlalu masuk kedalam kedai.

Sea mengayuh sepedanya santai sambil bersenandung kecil. Ia tersenyum saat melihat beberapa anak laki-laki berjalan sambil bercanda. Salah satu dari mereka terlihat menenteng sebuah bola plastik berwarna biru putih,sepertinya mereka baru selesai bermain bola.

Jarak rumah Sea dengan kedai es krim milik ibunya cukup memakan waktu. Sekitar 20 menit jika menggunakan sepeda.

Ditengah perjalanan Sea merasa aneh pada sepedanya. Kayuhan yang sebelumnya ringan menjadi sedikit bertambah berat.

Ia menepikan sepedanya di pinggir jalan. Matanya membola saat dirinya mengetahui jika ban sepedanya bocor tertusuk kaca.

Sambil menuntun sepedanya menuju bengkel yang letaknya tak jauh, sekitar 100 meter dari posisinya saat ini.

Sesampainya di sana, Sea langsung mendudukkan dirinya disebuah bangku yang ada di depan bengkel tersebut. Bibirnya memberenggut saat abang tukang tambal mengatakan jika ban sepedanya harus diganti, namun sialnya bengkel tersebut sedang tidak ada stok ban untuk sepeda.

Sea berdecak, dirinya terpaksa meninggalkan sepedanya disini dan dirinya harus pulang jalan kaki. Jika dia putar balik ke kedai, dirinya akan pulang lebih malam karena jarak kedai dan tempatnya sekarang lumayan jauh.

Sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya, Sea melangkah menuju sebuah gang yang terlihat sedikit gelap. Dulunya Sea sering melewati gang kecil ini, selain dulu ramai anak-anak gang ini juga menjadi jalan pintas Sea saat pulang dari kedai.Namun semenjak Sea dibelikan sepeda, dia jarang melewati gang tersebut.

Jalanan disepanjang gang itu sedikit digenangi air dan permukaannya berlubang serta rusak. Mungkin karena sering dilewati pengguna sepeda motor yang ingin menghemat waktu dengan memotong jalan.

Sea kembali melirik jam di pergelangan tangannya, hampir jam setengah enam. Sambil menahan kekesalan Sea menambah kecepatan berjalannya menjadi lebih cepat, tapi lama kelamaan berubah menjadi berlari.

Tepat setelah Sea membelokkan arah berlarinya, suara gonggongan anjing yang bersahut-sahutan membuat Sea panik. Diliriknya kebelakang, sekawanan anjing liar terlihat sedang mengejarnya.

'sialan!' Sea mengumpat dalam hati.

Seorang laki-laki seumuran dengannya terlihat baru saja keluar dari sebuah jalan setapak yang hampir tak terlihat karena tertutup tanaman merambat.

Matanya membelalak saat dia melihat Sea dikejar sekawanan anjing. Laki-laki itu langsung menarik pergelangan tangan Sea. Diarahkannya Sea menuju jalan setapak tersebut. Sambil menenteng sebuah papan skateboard, dia menggenggam jemari tangan Sea sambil menyuruhnya menambah kecepatan berlarinya.

Ternyata jalanan setapak itu mengarah ke sebuah danau buatan yang dikelilingi pepohonan. Disebelah kiri danau terdapat sebuah rumah pohon sederhana. Tak jauh dari rumah pohon itu, terlihat sebuah pohon rindang yang batangnya dilingkari tali ayunan.

Tak sempat menikmati keindahan didepannya, lengannya ditarik menuju sebuah rumah pohon. Laki-laki tersebut menyuruh Sea untuk segera naik keatas.

Namun karena terlalu panik, Sea terpeleset dan lututnya terantuk balok kayu yang melekat pada batang pohon. Balok kayu tersebut digunakan sebagai tangga untuk mencapai rumah pohon.

Melihat sekawanan anjing yang semakin mendekat, Sea segera naik keatas mengabaikan rasa nyeri pada lututnya diikuti laki-laki berhoodie hijau army itu.

Nafas keduanya masih tersengal-sengal. Sea menengok ke bawah lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia benar-benar ingin menangis.

"Anjingnya. Mereka masih ada dibawah." Ucapnya dengan nada sedikit bergetar menahan tangis.

Laki-laki yang duduk di sebelahnya itu segera beranjak memasuki bangunan rumah pohon dan tak lama kemudian kembali dengan membawa beberapa buah pinus di tangannya. Dilemparnya buah pinus tersebut kearah sekawanan anjing, membuat kawanan anjing tersebut merasa tak nyaman lalu pergi.

"Mereka udah pergi kok, jangan takut."

Suara bernada rendah yang menyerupai sebuah bisikan dan usapan lembut pada bahunya menyentak Sea dari ketakutannya. Perlahan tapi pasti, Sea mendongakkan kepalanya.

Matanya memerah dan masih terlihat berkaca-kaca menyorot sendu ke arah laki-laki didepannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan senyum hangat.

"Makasih." Sea tersenyum sambil mengusap matanya yang kembali basah. Sea tidak membayangkan jika dirinya tidak bertemu dengan sosok laki-laki di depannya ini.

"Sama-sama."

Sea kembali tersenyum. Ditatapnya wajah laki-laki itu, lalu mengulurkan telapak tangannya.

"Aku Oceana, panggil aja Sea."

Laki-laki tersebut membalas uluran tangan Sea. Lalu tersenyum.

"Libra, Libra Pandega."

🛹

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LibraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang