🏡 ada apa dengan sisifus? (wonpil)

534 66 55
                                    

dialog full gaes, sorry kalo membosankan. di chapter² awal memang fokus ke moment kegalauan transisi remaja ke dewasa dan penuh ceramah :"'



There is but one truly serious philosophical problem and that is suicide. Judging whether life is or is not worth living amounts to answering the fundamental question of philosophy. All the rest — whether or not the world has three dimensions, whether the mind has nine or twelve categories — comes afterwards. These are games; one must first answer.

— Albert Camus —

.

.

.

"Halo, gais, manusia-manusia tukang sambat kurang bersyukur!"

Wafa dan Jay menengok, tersenyum kecut.

Dia Brian Wardhana, membawa satu plastik penuh makanan dan minuman ringan. Wajah sedikit lelah, matanya kuyu, tapi senyum manisnya masih setia bertengger di sana.

"Sido nyusul, cuk? Jarene rapat karo arek AIESEC?" tanya Jay. Ia masih ingat hari ini Sungga dan Brian sibuk. Sungga sedang repot mengurusi ospek karena ia salah satu pejabat di kampus, anggota BEM sih —aktifis organisasi politik di kampus. Sementara Brian sedang mengurusi program volunteer-nya di Korea Selatan —aktifis organisasi luar kampus, maklum suka mencari koneksi di luar ITS. Satu-satunya yang nganggur hari ini adalah Jay yang notabene mahasiswa semester akhir yang sedang skripsi. Alasan ini pula yang menjadikannya dadakan jadi konselor untuk si bungsu, Wafa.

Brian terkekeh, "Aku izin skip dulu, males kumpulan terus," katanya sembari menarik kursi di samping Wafa. "Ayo, lanjut, rek!" titahnya sembari membuka jajanan di plastiknya.

"Makan teros," ejek Jay tapi menyomot jajan Brian.

"Eh, tangane karo cocote gak sinkron!" seru Brian memukul tangan Jay yang mengambil jajannya.
[Tangan sama mulutnya]

Wafa menahan senyumnya, batinnya serasa menghangat menyadari bahwa tetangga-tetangganya ini ternyata sangat perhatian dengannya. Memang terkadang keluarga tak melulu soal hubungan darah dan DNA 'kan?

Aku lupa kalo punya tetangga rasa saudara seperti mereka.

"Bri, kon wes moco buku 'Le Mythe de Sisyphe', 'kan?"
[Bri, kamu udah baca buku Le Mythe de Sisyphe']

"Hah, kacang mede? Le Mineral?"

"Goblok!" geram Jay, Wafa mengelus dada. "Buku yang pernah kamu pinjem itu loh, yang dibedah klub bukumu."

Brian makan sambil mengingat-ingat, "Ah, iya iya, hidup absurd itu 'kan? Esainya mbah Camus?"

Jay mengangguk, "Terangin po'o isi bukunya ke Wafa tukang sambat ini!"

Senyuman masam terbit di wajah Wafa. Padahal Jay juga sering sambat.

Brian terkekeh, "Oh, kamu semedi di gua gak keluar-keluar itu gara-gara ngerasa hidup gitu-gitu aja dan monoton ya, Waf? Kayak banyak banget cobaan gak berhenti-henti? Kalaupun hidup datar dan flat kayak jembatan Suramadu tapi rasanya tetep aja gak bahagia?" tanyanya menengok ke arah Wafa dengan cengiran jahil.

Komplek Enam Hari | day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang