2. Acara keluarga

269 35 13
                                    

Menurutku, ada yang lebih tajam dari pisau. Ada yang lebih kejam dari dunia yang fana ini. Yaitu, ucapan orang orang yang selalu mengomentari dan mencemooh orang lain, tanpa bisa mengintropeksi dirinya sendiri dan merasa bahwa dirinya lah yang paling sempurna. Adakah hal yang lebih memalukan daripada itu?

-Nathaya Zannia

____

Pagi ini, Mama sibuk menyuruh kami untuk segera bersiap. Dua hari lagi, akan ada acara dirumah salah satu bibi ku yang membuat keluarga keluarga besar jadi sibuk untuk membantu.

Aku baru saja keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih melilit di tubuh ku. Tatapan ku langsung jatuh pada sebuah celana dan kaos lengan panjang yang sudah tersedia diatas tempat tidur.

Aku menghembuskan nafas berat, sepertinya Mama sudah memilihkan celana itu untuk ku. Tetapi aku tidak ingin memakainya.

Tentu saja. Aku tidak ingin orang-orang semakin mengomentari ku. Penampilan ku ketika memakai celana itu, benar-benar buruk menurutku.

Tapi Mama tidak pernah mendengarkan ku. Ia selalu bilang, 'Buat apa beli kalo ga pernah dipake?'

Aku membuka pintu kamar, menyembulkan kepala ku dibalik pintu. Memanggil Mama yang sepertinya sedang ada di dapur.

"Kenapa lagi?" Tanya Mama yang menghampiri ku.

"Rok Aya yang warna biru kemaren mana? Kok ga ada di lemari?"

"Masih di jemuran, belum kering."

Aku menghela nafas, apakah hari ini aku akan terjebak dengan celana itu?

"Kalau celana training nya?" Tanyaku, berusaha menghindar agar tidak memakai celana itu.

"Belum dicuci. Kenapa sih? Pakai aja celana sama baju yang udah Mama siapin itu."

"Tapi Ma..." Rengek ku yang tidak ingin memakai pakaian itu.

Tetapi seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, Mama tidak pernah mendengarkan semua protes ku.

"Udahlah, kenapa sih harus pilih pilih? Daripada ga pernah di pake?"

"Bajunya agak ketat, Ma. Celananya juga terlalu panjang dan agar kebesaran. Aya jadi keliatan makin bantet." Kataku memberi alasan.

Lagipula, aku memang benar-benar mengatakan hal sebenarnya yang membuat ku enggan memakai pakaian itu.

Tubuhku ini tidaklah tinggi, lalu harus memakai celana seperti itu?

"Salah siapa punya badan gede."

Aku hanya menggigit bibir bawahku, lalu mengangguk pasrah. Kembali menutup pintu, dan berjalan menuju tempat tidur.

Tanganku bergerak mengambil sepasang pakaian itu. Bibir bawahku ku gigit semakin kuat, ketika bibirku mulai bergetar menahan isakan yang sebentar lagi akan terdengar.

Aku mulai memakai pakaian ku dengan sedikit terpaksa. Ingin sekali memberontak, tapi tidak bisa.

Inilah yang paling ku benci dari diriku. Selalu diam ketika merasa tertekan. Selalu menutup mulut padahal ada banyak yang ingin disampaikan. Selalu tidak bisa membantah ketika merasa benar-benar tidak cocok.

Pertahanan ku mulai runtuh. Isakan yang sejak tadi ku tahan kini meluncur begitu saja dari bibirku. Mataku yang sejak tadi memanas kini mulai meneteskan cairan beningnya. Dadaku kembali terasa sesak.

Selesai memakai pakaian, aku berdiri didepan cermin. Menatap pantulan diriku sendiri.

Sampai kapan ini akan terus berlangsung? Sampai kapan aku harus memendam semuanya? Sampai kapan aku harus menerima semua ucapan menyakitkan itu?

Terlalu banyak memendam luka, membuatku menjadi cengeng. Hal hal yang sebenarnya tidak perlu untuk ditangisi, malah membuatku menangis.

Tetapi, itu bukan berarti aku benar-benar cengeng. Mudah menangis karena hal sepele adalah caraku untuk meluapkan semuanya. Setelah berusaha untuk terus terlihat baik baik saja didepan semua orang. Setelah berusaha menahan tangis dan kembali memendam semuanya sendiri.

Dengan adanya hal sepele yang sebenarnya tidak perlu ditangisi, membuatku mempunyai alasan untuk meluapkan semuanya. Meskipun tidak selega saat aku langsung menangis ketika benar-benar merasa sakit. Setidaknya, rasa sesak itu sedikit berkurang.

Aku tersadar dari lamunanku ketika Mama memanggil dari luar. Segera aku menyisir rambut dan memakai sedikit bedak bayi, baru setelah itu keluar menemui Mama.

Di ruang keluarga, sudah berkumpul Mama dan dua adikku. Sedangkan ayahku saat ini sedang bekerja.

Kami berempat segera berangkat ke rumah Tante Wina, kakak dari Mama.

Nathaya's POV end

***

Author's POV

Membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mereka sampai ke rumah Tante Wina. Setelah sampai disana, Diana-- ibu Nathaya-- segera bergabung dengan yang lain untuk mempersiapkan acara yang tinggal menghitung hari itu. Sedangkan Nathaya ikut bergabung dengan sepupu sepupunya yang lain.

"Kenapa pake celana itu, dek?"

Nathaya menoleh pada salah satu kakak sepupunya, Tasya. Ia hanya tersenyum tipis, sudah tau apa yang akan terjadi.

"Mama yang nyuruh. Memang kenapa, kak?" Tanyanya berpura-pura, padahal sudah tau apa jawabannya.

"Ya nggak, sih. Cuma keliatan aneh gitu. Ya, kurang cocoklah sama kamu. Soalnya kan model celananya agak ngembang dan panjang gitu."

Lagi-lagi, Nathaya hanya dapat tersenyum. Senyum yang menyembunyikan luka. Nathaya bisa melihat bagaimana raut tidak enak dari kakak sepupu nya ketika mengatakan itu.

Tuhan, bolehkah Nathaya tenggelam saja saat ini? Atau, lenyap kan saja ia saat ini juga.

Nathaya benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya ketika memakai pakaian ini. Ralat, bahkan ketika memakai pakaian yang lainnya pun, Nathaya sering merasa insecure. Seolah, tidak satupun pakaian yang cocok untuk melekat ditubuhnya.

Rasanya, Nathaya ingin mengurung diri saja dikamar agar tidak bertemu dengan siapapun. Ia bukanlah tipe orang yang bisa bodoamat dengan ucapan orang lain tentangnya.

Nathaya hanya seorang pemikir berat. Perkataan orang-orang yang menyangkut di kepalanya, membuatnya selalu memikirkannya. Sedikit saja ucapan orang yang mengkritik dirinya, membuat Nathaya  menjadi memikirkan itu selama berhari-hari.

Kenapa sih? Kenapa hidupnya harus seperti ini? Penuh perbandingan! Penuh komentar!

Apakah Nathaya pernah berbuat salah dengan mereka? Apakah Nathaya pernah melakukan seperti apa yang mereka lakukan padanya?

Semesta... Cukup! Nathaya lelah dengan semua ini.

Tidak bisakah dia tersenyum dengan tulus bahkan hanya sekali saja? Nathaya lelah terus terusan menunjukkan senyum palsunya. Itu semua benar benar memuakkan!

Disini, Nathaya sadar. Bahwa sebenarnya, bukan dunia yang kejam. Tetapi, ucapan dan tingkah laku mahluk yang hidup di dunia lah yang lebih kejam.

***

InsecureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang