Setiap senyum yang terukir, bukan berarti sebuah kebahagiaan, bukan? Dan, aku tersenyum hanya untuk menunjukkan pada dunia, bahwa aku baik baik saja. Senyum boleh saja tampak nyata terukir di bibirku. Namun luka, tidak akan ku biarkan nyata dihadapan dunia.-Nathaya Zannia
____
Hari ini adalah hari dimana acara tersebut diselenggarakan. Semua tampak tersenyum bahagia, terutama sang pemilik acara. Tak terkecuali juga Nathaya yang kini tengah tersenyum, mengintip dibalik jendela kamar betapa ramainya tamu yang datang.
Namun, nyatanya senyum tersebut tak mampu bertahan lama.
Nathaya menghela nafas, kemudian memilih untuk duduk di sisi ranjang. Menatap cermin full body yang tepat berada dihadapannya.
Menatap dirinya dari atas hingga bawah, ia kembali menghela nafas.
Apakah ini hanya sekedar dirinya yang terlalu pede, atau memang benar, bahwa sebenarnya dirinya tidak terlalu buruk? Maksudnya, tidak seburuk yang orang orang katakan. Namun jika perasannya itu benar, lantas kenapa ucapan orang orang terlalu tajam dan berlebihan?
Entahlah, Nathaya bahkan tidak ingin membela dirinya sendiri. Untuk apa membela diri jika pada akhirnya oranglah yang menghakimi? Nathaya takut, kekecewaan akan semakin mendominasi dirinya. Nathaya takut, rasa tidak percaya dirinya akan semakin berkembang, yang pada akhirnya akan membuatnya semakin takut pada dunia yang luas.
Benar, Nathaya takut jika yang di ucapkan orang orang adalah benar adanya, dan apa yang ia pikirkan hanyalah sebuah bentuk protes dari sisi dirinya yang lain. Yang seolah mengatakan bahwa, 'Kamu tidak seburuk itu, Nathaya.'
Jujur, pada kondisi seperti ini, Nathaya benar benar takut untuk tampil dihadapan dunia. Nathaya selalu risih berada di keramaian. Rasanya, kamar adalah tempat teraman dan ternyaman bagi seorang Nathaya.
Hanya saja, terkadang keadaan lah yang memaksa nya untuk tetap berada di keramaian. Berada di antara orang ramai, yang kebanyakan atau bahkan rata rata dari mereka adalah good looking.
Ceklek
Pintu kamar tersebut terbuka, seiring dengan seonggok kepala yang menyembul dibalik pintu.
"Kak, kenapa di kamar? Ga keluar?"
Nathaya menatap sepupunya itu, putri dari Tante Wina. Senyuman kembali terbit dari bibirnya, meskipun hanya sebuah senyuman tipis.
"Iya, bentar lagi," jawabnya. Padahal sebenarnya, Nathaya sama sekali tidak ingin keluar.
Sekali lagi, keadaan lah yang memaksanya untuk tetap berada di keramaian. Jika ditanya bagaimana perasaan Nathaya saat ini, hanya ada satu jawaban.
Takut.
Ketakutan selalu menghantuinya setiap kali berada di keramaian. Ketakutan tentang, 'Aku ga pantes berada ditengah keramaian' 'Aku seolah sampah yang ada ditengah jalanan yang bersih' 'Aku minder sama mereka' seringkali melintas.
"Yaudah, jangan lama lama ya kak. Tadi Tante Diana suruh keluar."
Nathaya mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu, Yesa kembali menutup pintu kamar miliknya sendiri.
Nathaya menghela nafas. Ya, mau tidak mau, dia harus keluar.
***
Nathaya's POV
Pernahkah kalian merasa terkucilkan ketika berada di keramaian?
Ah, tidak. Maksudku seperti ini. Pernahkah kalian merasa bahwa kalian tidak pantas untuk berada di tengah-tengah orang ramai? Seperti, kalian merasa bahwa kalian hanyalah sampah. Ralat, maksudku, kalian hanyalah seorang dengan paras yang tak seindah orang orang yang berada di sekeliling kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecure
Teen Fiction"Orang terdekat adalah mereka yang paling berjasa membuatku menjadi sangat insecure seperti ini. Terutama, keluarga." "Kamu maafin mereka? Apa kamu ga ngerasa marah atau dendam sama mereka yang udah menyakiti kamu?" "Bahkan sekalipun jika aku gak m...