Ada air mata yang tak pernah kalian lihat.
Ada luka yang tak pernah kalian mengerti.
Ada kehancuran yang tak pernah kalian sadari.
Dan tolong, jangan membuatnya semakin kacau.-Nathaya Zannia
_____
Prangg...
Cutter itu terjatuh mengenai akar pohon besar itu yang memang timbul di permukaan.
"Akhh!"
Nathaya merintih, ketika pergelangan tangan kirinya mengeluarkan darah.
"What did I just do?" Gumamnya, lalu menggeleng pelan.
Fokusnya kini beralih pada pergelangan tangannya yang masih mengeluarkan darah, meskipun tidak terlalu banyak. Cutter tadi hanya menimbulkan goresan yang sedikit dalam. Beruntungnya lagi, goresan tadi tidak mengenai tepat pada nadi nya. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi kepadanya. Bisa saja nyawanya langsung melayang begitu saja.
Nathaya benar-benar bersyukur, karena kewarasannya kembali tepat pada waktunya. Jika saja terlambat, mungkin sekarang Nathaya sudah benar-benar membunuh dirinya sendiri. Meskipun dirinya tetap terluka.
Bagaimanapun Nathaya ingin untuk mengakhiri semua ini, tetapi ia tidak segila itu untuk benar-benar melakukannya. Kecuali jika ia memang sudah berada pada fase 'lelah dan ingin menyerah' dalam hidupnya. Menurutnya, sampai saat, melukai diri sendiri masih cukup. Yang artinya, ia bisa saja benar-benar melakukan hal seperti tadi jika sudah berada pada titik paling rendahnya.
Luka yang kira-kira sepanjang 6 cm itu masih mengeluarkan darah. Nathaya meringis ditengah-tengah kegiatannya meniup luka tersebut.
Nathaya menghela nafas pelan, lalu berusaha bangkit dari posisinya sekarang. Senja sebentar lagi akan datang menjemput, dan keadaan hutan yang semakin gelap membuatnya memutuskan untuk kembali ke rumah. Bagaimanapun, Nathaya tetap takut berada di tengah hutan yang gelap seorang diri. Ketimbang binatang buas, Nathaya lebih takut pada hantu. Entahlah, memang sedikit aneh. Dimana kebanyakan orang lebih takut pada binatang buas saat di hutan, ia malah lebih takut pada hantu.
~~
"Akhh!"
Nathaya meringis pelan, seraya membersihkan lukanya dengan alkohol. Setelah membersihkan lukanya, Nathaya lalu membalutnya dengan kain kasa. Sedikit berlebihan memang, mengingat itu hanyalah luka akibat goresan pisau. Tetapi lukanya cukup panjang, dan sepertinya tidak memungkinkan untuk hanya dibalut dengan plester saja.
Luka yang ia dapatkan saat ini, tidak sebanding dengan luka yang hatinya rasakan selama ini. Ia lantas hanya tersenyum pedih.
Selesai mengobati luka pada pergelangan tangannya, Nathaya segera membereskan peralatan P3K nya dan mengembalikan nya ke dapur.
"Lho, kak, tangan kamu kenapa?"
Nathaya sempat kaget ketika ia berbalik kebelakang, tiba-tiba ada ibunya yang entah darimana datangnya.
"Eh?" Nathaya memutar otak, berusaha mencari jawaban yang logis agar bisa diterima oleh ibunya tanpa dicurigai. Tidak mungkin ia berterus-terang bahwa dirinyalah yang membuat tangannya terluka.
"Tadi cermin di kamarku pecah, jadi nggak sengaja kena pas lagi beresin."
Baiklah, Nathaya tau bahwa alasan ini sangat tidak masuk akal. Tetapi memang hanya ini yang terlintas dibenaknya.
"Beneran karena itu? Bukan---"
"MAA! KESINI BENTAR!!"
Nathaya menghela nafas lega, ketika tiba-tiba ayahnya berteriak memanggil sang ibu. Setidaknya, ini bisa menyelamatkan Nathaya sebelum rentetan pertanyaan dari ibunya menyerangnya.
"Iyaa!"
Setelah ibunya pergi, Nathaya langsung kembali ke kamarnya.
Sampai di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya sambil merenungi sesuatu.
"Kalau tadi berlanjut, apa semua penderitaan ini bakal berakhir?" Gumamnya pelan.
Berkali-kali Nathaya menghembuskan napasnya. Mencoba menenangkan pikirannya dari ide-ide gila yang muncul kapan saja. Nathaya tidak mau hal seperti tadi terjadi lagi.
Sebesar apapun keinginannya untuk mati, tapi Nathaya rasa ini belum saatnya. Jauh dalam lubuk hatinya, Nathaya sangat berharap semesta segera memberikan keadilan baginya, sebelum ia benar-benar melakukan hal gila tersebut.
Matanya terpejam, bibirnya sesekali mengeluarkan ringisan saat ia mencoba untuk menahan perih yang timbul akibat goresan di pergelangan tangannya.
"Kalau besok akan jadi lebih berat, enggak masalah kan kalau aku menyerah? Memangnya, ada yang bakal khawatir? Seharusnya mereka senang, kan, karena enggak perlu repot-repot berkomentar? Aku juga enggak perlu nahan sakit lagi."
Percayalah, rasanya menyakitkan saat Nathaya harus menahan diri agar tidak melakukan seperti itu. Rasanya seperti tidak puas, meskipun ia sering merasa cukup hanya dengan self harm.
Suara dengkuran halus terdengar tak lama setelah itu. Ternyata Nathaya sudah terlelap. Raut wajahnya jelas sekali menunjukkan bahwa ia sangat lelah hari ini. Ah, ralat. Bahkan setiap harinya ia selalu merasa lelah. Melihatnya wajah damainya saat tertidur, rasanya menyakitkan saat menyadari betapa banyak luka yang dipendam olehnya. Jadi kali ini, biarlah Nathaya beristirahat sejenak.
~~
Jalanan ramai dipadati oleh banyak kendaraan. Asap kendaraan tak jarang membuat orang-orang yang tak sengaja menghirupnya jadi terbatuk-batuk. Udara di kota cukup berpolusi.
Di tengah teriknya sinar mentari, Nathaya mengayuh pelan sepedanya sambil sesekali bersenandung kecil. Tak lupa ia mengenakan masker serta menutup kepalanya dengan tudung hoodie. Alasannya? Tentu saja Nathaya tak ingin orang-orang melihatnya yang merusak pemandangan ini. Nathaya tidak salah, kan?
Setengah dari punggung tangannya tertutupi oleh lengan hoodie nya yang panjang. Menatapnya lama, lalu Nathaya menghela napasnya. Mau bagaimanapun ia menutupinya, tentu saja kulitnya tidak akan memenuhi standar kecantikan negeri ini, bukan? Ia tersenyum miris, mengingat betapa kejamnya standar kecantikan itu.
"E-ehh ..."
Karena terlalu larut dari lamunannya, Nathaya sampai tak sadar bahwa tak jauh didepannya ada orang yang sedang berjalan kaki, membuatnya oleng seketika dan hampir terjatuh. Tapi sepertinya kali ini semesta sedang berbaik hati padanya untuk tidak mempermalukannya di depan umum.
"Maaf, kak. Saya enggak sengaja," ucap Nathaya menundukkan kepalanya pada orang yang hampir saja ditabraknya itu. Seorang lelaki dengan tubuh menjulang dan kaos hitamnya.
"Iya, enggak apa-apa." Lelaki itu membalasnya dengan tersenyum, yang sayangnya tidak dilihat oleh Nathaya karena ia sibuk menunduk.
"Kalau begitu, saya duluan."
Nathaya hanya memandang sekilas lelaki itu, kemudian dengan tergesa menaiki kembali sepedanya dan mengayuhnya cepat. Ingin segera kembali ke rumah.
Jujur saja, kejadian tadi membuatnya sedikit takut. Itu karena ia berinteraksi langsung dengan seseorang. Semenjak libur sekolah, Nathaya sangat jarang keluar rumah dan berinteraksi dengan orang-orang. Lagipula, ia juga termasuk orang yang susah untuk bersosialisasi dengan yang lain.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja ia tadi baru saja melakukan kesalahan dengan hampir menabrak orang itu. Meskipun katanya tidak apa-apa, tetapi bagaimana jika lelaki itu sebenarnya marah? Nathaya tidak ingin lebih dibenci lagi, sungguh!
Karena tidak disukai oleh banyak orang, terasa sakit menyakitkan daripada tertusuk ribuan jarum sekalipun.
*Bersambung
Singkatnya, saya kembali merasakan itu:)
Ups, don't take it seriously, 'cuz I've fought this far😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecure
Ficção Adolescente"Orang terdekat adalah mereka yang paling berjasa membuatku menjadi sangat insecure seperti ini. Terutama, keluarga." "Kamu maafin mereka? Apa kamu ga ngerasa marah atau dendam sama mereka yang udah menyakiti kamu?" "Bahkan sekalipun jika aku gak m...