1. Liburan sekolah

378 48 31
                                    


Orang lain hanya mampu mengatakan, tanpa bisa merasakan. Mereka hanya bisa berucap, tanpa bisa berpikir apakah ucapan mereka itu salah atau tidak. Karena tanpa mereka ketahui, ada hati yang tengah terluka karena ucapan mereka.

-Nathaya Zannia

____

Nathaya's POV

"Nathaya, bangun. Nggak sekolah bukannya bantuin Mamanya malah tidur terus."

Aku menggeliat dari tidurku ketika mendengar suara Mama dari luar kamar. Aku mengucek mata sebentar, lalu segera bangkit dari tempat tidur.

"Iya." Sahutku singkat.

Aku berjalan menuju kamar mandi, berniat untuk mencuci muka. Setelah membasuh wajahku dengan air, aku terdiam sebentar menatap cermin di depan ku.

'Nggak sekolah bukannya bantuin Mamanya malah tidur terus.'

Ucapan Mama tadi kembali terngiang di telingaku. Aku hanya tersenyum pedih.

Lalu apa yang aku lakukan selama ini? Menyetrika dan mencuci baju, membersihkan rumah, mencuci piring, saat semuanya sedang bekerja dan bersekolah.

Apakah itu masih belum bisa dikatakan bahwa aku telah membantunya?

Memang, sudah hampir satu bulan ini aku tidak bersekolah. Tahun ini, aku baru saja lulus SMP, membuatku terus dirumah menjelang tahun ajaran baru.

Aku segera keluar dari kamar mandi setelah mendengar teriakan Mama yang memanggil namaku.

"Kenapa, Ma?" Tanyaku menghampirinya di dapur.

"Tolong beliin gula, ini uangnya." Mama menyerahkan selembar uang berwarna hijau kepadaku.

Aku mengangguk, kemudian segera pergi menuju warung didekat rumahku dengan berjalan kaki. Sesekali menendang kerikil, dan menundukkan kepala.

Kakiku berbelok ke kiri, ke sebuah warung yang berukuran cukup besar. Setelah membeli gula seperti yang Mama suruh, aku kembali melangkah untuk pulang.

"Aya."

Aku menoleh kebelakang ketika seseorang memanggil ku.

"Eh, Kak Diba."

Senyum ku mengembang pada Kak Diba, kakak sepupuku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku.

Gadis cantik itu balas tersenyum, membuatnya terlihat semakin manis. Ah, aku iri melihatnya. Coba saja aku punya wajah cantik sepertinya.

Kak Diba itu, mempunyai wajah yang cantik. Ketika ia tersenyum, manis wajahnya terlihat. Mempunyai tubuh ideal. Ramah pada semua orang. Mudah bersosialisasi.

Apakah aku bisa jadi seperti itu?

Ah, sudahlah. Berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain, Nathaya. Cukup orang-orang disekitar mu yang melakukan itu.

"Darimana?"

Aku kembali melangkah, dengan Kak Diba yang juga ikut melangkah disebelah ku.

"Warung, beli gula." Aku mengangkat kantung plastik yang berisi gula itu.

Kak Diba mengangguk, kemudian memiringkan kepalanya, menoleh ke arahku, "Udah ga sedih lagi?"

Aku terdiam sebentar. Menatap kebawah pada aspal jalanan. Lalu kembali menaikkan pandangan dan balas menoleh pada Kak Diba, sambil tersenyum samar.

"Untuk hari ini, mungkin."

Terdengar helaan nafas dari Kak Diba. Gadis manis itu menepuk pundak ku, menatap ku penuh arti.

"Jangan dengerin omongan orang-orang. Just be yourself. Love yourself. Anggap aja mereka itu ujian untuk kamu, melatih kesabaran hati. Mereka cuma bisa ngomong, tapi ga bisa ngerasain."

Tidak ada jawaban apapun dariku. Kepalaku kembali tertunduk, menatap aspal jalanan.

"Kakak duluan." Lanjutnya kemudian berjalan mendahului ku.

Masih tak ada ucapan apapun yang keluar dari bibir ku. Aku masih tertunduk diam. Kembali mengingat ucapan Kak Diba beberapa saat lalu.

Kak Diba benar, mereka hanya bisa berbicara tanpa bisa merasakan apa yang selama ini aku rasakan akibat ucapan mereka. Mereka tidak tahu, betapa dahsyatnya efek dari ucapan yang mereka anggap sepele itu bagiku.

Tetapi, bagaimana caranya agar aku bisa mengabaikan semua ucapan mereka? Semua ucapan mereka seakan menjadi pedang bagiku. Pedang yang kapan saja siap untuk menusukku.

Lalu, bagaimana bisa aku menjadi diriku sendiri kalau mereka terus saja membanding-bandingkan dan mengomentari diriku? Apakah mereka tidak pernah sadar, bahwa semua ucapan mereka itulah yang membuat ku menjadi sangat insecure?

Alhasil, aku tidak pernah percaya pada diriku sendiri. Bahkan tanpa sadar, aku ikut membandingkan diri dengan orang lain. Merasa tak pernah mendapatkan keadilan.

Sekejam itukah dunia?

Apakah hanya mereka yang cantik saja, yang selalu mendapatkan pujian? Sedangkan yang tidak menarik seperti ku ini hanya pantas mendapat komentar-komentar tidak menyenangkan?

Rasanya, aku ingin menjadi seperti orang lain saja.

Aku menghela nafas, kemudian membelokkan langkah saat telah sampai didepan rumah. Mengucapkan salam, masuk kedalam rumah dalam keadaan bungkam.

Akankah esok hari kembali terasa menyakitkan?

***

InsecureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang