3. Keteguhan

2.8K 287 19
                                    

Romeo Giovardo, pria itu terduduk di salah satu kursi tunggu yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya tampak dingin dengan tatapan mata yang kosong bahkan bibirnya pucat nyaris tanpa warna. Dari lain arah, seorang pria dengan pakaian serba hitam tengah berjalan cepat setengah berlari ke arahnya.

"Tuan!" ucapnya pelan melirik kemeja putih yang Tuannya kenakan sudah basah bersimbah darah dan dari jejaknya saja dia tahu jika luka tersebut berasal dari tembakan sebuah pistol, "Anda harus segera mendapatkan perawatan!" katanya lagi tetapi sang Tuan tetap pada posisinya.

"Orion," Romeo melirik pria berpakaian serba hitam itu dengan pandangan dingin yang membuat Orion terhenyak.

"Iya Tuan?" sahutnya.

"Siapkan pakaian ganti untukku dan pakaian ganti untuk seorang gadis."

"Baik akan saya siapkan." sahutnya tanpa bertanya meski penasaran mengapa Tuannya juga menginginkan pakaian untuk seorang gadis atau apakah Tuannya saat ini bersama dengan seorang gadis, tebaknya.

"Satu hal lagi,"

"Iya Tuan?"

"Pakaian yang tertutup seperti gaun yang di pakaian oleh istri Arka dan juga Hijabnya."

Orion tampak kaget dengan permintaan dari Romeo tetapi ia pun mengangguk tanpa banyak pertanyaan dan segera berbalik untuk pergi tetapi langkahnya terasa berat karena mengingat keadaan sang Tuan.

"Pergilah, aku akan masuk setelah merasa tenang."

Orion tidak mengatakan apapun karena dia sendiri tidak mengerti apa yang Tuannya maksud dan kenapa dia harus menenangkan diri terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam ruangan Emergency Room.

"Pergilah."

Orion melangkah pergi sesuai dengan intruksi Tuannya meski dia sendiri di liputi oleh banyak pertanyaan serta sikap Romeo yang tiba-tiba berubah seperti ini membuatnya mengingat kembali kejadian yang telah lalu. Ada sesuatu yang terjadi hingga menyebabkan Romeo bersikap dingin seperti ini karena Romeo yang dia kenal adalah pria yang ramah dan juga ceria.

oOo

Aroma obat-obatan yang menyengat langsung menyapa Rania ketika ia tersadar dari tidurnya dan melihat tirai berwarna biru muda mengelilingi dirinya yang terbaring di atas ranjang singel. Rania mengangkat tangannya dan melihat selang infus terpasang disana. Ia mulai berpikir banyak hal lalu beranjak duduk di atas ranjang dengan gerakan perlahan.

Ia masih takut untuk membuka tirai karena kejadian yang telah lalu masih membekas di ingatannya. Lalu tiba-tiba dari arah yang berbeda, seseorang menyibak tirai yang menutupi ranjang tempat ia tidur.

Rania terdiam melihat seorang pria tampan berdiri di sebelahnya dengan pandangan penasaran dan juga ia mulai mengingat-ngingat kejadian yang baru saja dia alami dan pria itu sepertinya adalah orang menyelamatkannya.

"Kamu siapa?" tanya Rania dengan suara serak menatap Romeo untuk sejenak lalu kembali memperhatikan tangannya yang di infus.

"Kau baik-baik saja? Atau kau masih merasa sakit di bagian tertentu? Aku akan memanggilkan Dokter."

"Tidak usah! Tidak perlu repot, a-aku baik!" katanya cepat sebelum Romeo beranjak pergi.

Romeo menarik pelan sebuah kursi dan mendudukan dirinya di sebelah ranjang rawat Rania. Tatapannya yang dingin membuat gadis itu ketakutan dan Romeo menyadarinya. Ia mengambil gelas yang berada di atas meja nakas yang kemudian ia berikan kepada Rania, "Minumlah dulu." katanya.

"Te-terima kasih." ucap Rania pelan menerima gelas itu dari tangan Romeo dan meminumnya hingga tandas.

"Jadi kenapa mereka mengejarmu dan sepertinya akan melakukan sesuatu yang buruk?" tanya Romeo dengan tatapan penuh selidik.

"I-i-itu, Me-mereka ...." Rania terdiam karena merasa ragu untuk mengatakannya dan ketika ia kembali menatap wajah Romeo. Rania baru menyadari jika pria yang saat ini duduk di hadapannya adalah pria yang kemarin membeli setangkai mawar merah di toko bunga tempat ia bekerja paruh waktu.

"Temanku berhutang seratus ribu Dollar dan menjadikan aku sebagai pelunas hutang karena tidak mampu membayar dan itu tanpa sepengetahuanku. Aku ingin melaporkannya ke Polisi dan juga ke kantor Kedutaan negaraku tetapi mereka tidak menerima saranku lalu membawaku ke sebuah tempat untuk di jual." ujarnya jujur menceritakan semuanya kepada Romeo yang diam mendengarkan, "Aku sungguh tidak tahu dan aku tidak pernah sama sekali berhutang kepada siapapun di negara ini." lanjutnya.

Romeo tidak mengatakan apapun setelah mendengarkan cerita dari Rania. Ia terdiam memikirkannya dan menduga-duga dimana tempat Rania di jual. Seingatnya hanya ada Klub malam bernama Black Rose di daerah tersebut dan jika benar Rania di jual disana, itu artinya masalahnya tidaklah mudah untuk di bereskan.

"Tuan?"

Romeo melirik singkat dari balik bahunya dan kembali fokus menatap Rania, "Siapa namamu?" tanyanya.

"Rania Syaqilah Azzahra."

"Kamu dari Indonesia?"

"Iya benar."

"Orion?"

"Iya Tuan?"

"Selidiki Black Rose, apakah mereka melakukan lelang gadis perawan malam tadi."

"Baik Tuan." Orion segera menjauh seraya mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Jika dugaanku benar, kau di jual di Klub malam Black Rose dan ini sesuatu yang tidak mudah untuk di tangani." Romeo menghela napas dan berusaha untuk mencairkan suasana karena melihat Rania yang terlalu tegang dan takut bicara dengannya.

"Maksud anda?" tanya Rania semakin takut.

"Hei jangan bersikap formal seperti ini ketika bicara denganku. Santai saja seperti tadi kau berbicara padaku." ujar Romeo merasa aneh dengan cara bicara Rania yang tiba-tiba berubah dan gadis itu segera menganggukan kepalanya pelan.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku harus segera menelpon Polisi dan juga Kedutaan."

"Tuan!"

Keduanya terdiam ketika Orion sudah kembali dan menatap mereka bergantian, "Mereka melakukan lelang dan salah satu gadis yang sudah di beli kabur."

"Berapa harga gadis yang kabur itu?"

"Dua ratus ribu Dollar."

"Kau cukup mahal, Nona." Romeo menyeringai tipis sedangkan Rania terdiam dengan kedua tangan terkepal karena emosi yang memuncak. Dirinya hanya di hargai dua ratus ribu Dollar.

"Siapa yang membeli?"

"Xavier Aldebaran."

Romeo beranjak berdiri dari duduknya hendak pergi, "Pergi temui manajer Black Rose. Katakan padanya jika aku sudah meniduri gadis yang kabur dan berikan mereka uang dua ratus lima puluh ribu Dollar sebagai bayaran." Romeo berbalik menatap Rania yang juga menatapnya tidak mengerti, "Jangan sia-siakan usahamu dengan melapor Polisi dan Kedutaan. Sekarang kau bebas, aku membebaskanmu." katanya kemudian beranjak pergi sebelum Rania mampu menghentikannya.

Orion segera menyusul Romeo yang berjalan begitu cepat, "Tuan tunggu!" serunya tetapi Romeo terus berjalan hingga mereka sampai di parkiran rumah sakit dan masuk ke dalam mobil yang sama.

"Tuan, uang dua ratus lima puluh ribu Dollar bukanlah sedikit dan anda membayarkan uang sebanyak itu kepada gadis yang tidak anda kenal?!" kata Orion marah tetapi Romeo tidak peduli dan memilih untuk memejamkan kedua matanya.

"Bayarkan uang itu, aku tidak mau tahu dan aku tidak akan bangkrut hanya karena kehilangan uang dua ratus lima puluh ribu Dollar." desis Romeo tidak suka dan akhirnya memilih untuk tidur sementara sang supir yang duduk di depan segera memacu mobil pergi meninggalkan area rumah sakit.

Rania masih terduduk diam di atas ranjang rumah sakit. Ia masih mengenakan mukenah miliknya dan di atas meja nakas ada paper bag dan sebuah piring berisi makan siang yang baru saja di bawakan oleh seorang suster dan ketika ia bertanya tentang paper bag di atas meja. Suster itu mengatakan jika paper bag itu di bawa oleh pria yang menolongnya.

Rania meraih paper bag tersebut dan terkejut ketika melihat isinya adalah pakaian ganti lengkap dengan Hijab serta cadar yang membuatnya tersenyum haru, "Terima kasih, Tuan." ucapnya tulus.

Bersambung

Mafia FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang