Hari telah menjelang sore dan Rania masih di rumah sakit, ia hanya bisa diam setelah seorang Dokter dan suster keluar dari kamar inapnya. Ia mengedarkan pandangannya memperhatikan dan memahami jika ruangan ini kelas VIP. Rania tidak punya uang untuk membayar rumah sakit, jangankan untuk kelas VIP kelas umum saja dia belum tentu punya uang.
"Bagaimana ini?" gumam Rania resah apalagi dia tidak mempunyai ponsel untuk menghubungi siapapun termasuk keluarganya karena tertinggal di apartemen. Tapi dia sendiri bingung siapa yang bisa ia hubungi tentang keadaannya. Rania tidak ingin membuat keluarganya cemas dan khawatir karena keadaannya.
Pintu kamar kembali terbuka oleh sosok Romeo yang masuk tanpa permisi sambil membawa kantung plastik yang Rania sendiri tidak tahu isinya, "Tuan." panggilnya pelan.
"Ada apa?" sahut Romeo sambil menyerahkan kantung di tangannya ke pangkuan Rania yang menatapnya bingung.
"Saya ingin segera keluar dari rumah sakit." katanya pelan, "Ini apa?" tanyanya kemudian menyentuh kantung plastik yang ada di pangkuannya.
"Kau belum sembuh untuk keluar dari rumah sakit dan itu makanan untukmu, makanan rumah sakit tidak enak."
"Saya hanya terluka bukan sakit parah yang harus di rawat intensif dan terima kasih untuk makanannya."
"Tapi lukamu cukup serius."
"Saya tidak punya uang untuk menginap lebih lama." sahutnya melirik kearah Romeo.
"Aku sudah membayarnya."
"Ta-tapi anda-"
"Jangan bersikap formal." potong Romeo cepat.
"Aku tidak ingin berhutang budi denganmu."
"Yah terserah kau bisa keluar." Romeo mendengus pelan.
"Kalau begitu saya akan keluar sekarang."
"Kau gila?" Romeo sontak kaget menatap Rania tidak percaya.
"Saya sehat." Rania tersenyum tipis sedangkan Romeo mendengus sebal, "Kalau begitu, bisakah tuan memberikan nomor ponsel dan nomor rekening anda? Saya akan membayar hutang saya dengan mencicil lalu uang yang anda keluarkan untuk menebus saya, akan saya usahakan setelah melaporkan masalah ini."
"Kau-"
"Saya hanya tidak ingin berhutang dengan anda." ucapnya pelan.
"Aku sudah mengatakan kepadamu, jangan membawa ini ke jalur hukum karena hanya akan merugikan dirimu sendiri."
"Apanya yang rugi? Saya tinggal dan besar di negara hukum."
"Yang kamu lawan bukan orang biasa, Rania. Tetapi Mafia."
Rania terdiam dengan pandangan tidak percaya menatap Romeo yang membalas tatapannya datar.
"Bahkan aku sendiri adalah seorang Mafia."
Mafia? Rania cukup terkejut mendengarnya tapi ia memilih diam karena ia tidak bermaksud untuk menyinggung Romeo. Rania tidak ingin semua orang terlalu baik padanya karena Rania belum tentu dapat membalas kebaikan mereka kecuali melalui doa saja, "Saya tidak bermaksud seperti itu." ucap Rania pelan dengan pandangan tertunduk.
"Sudahlah bersiaplah jika ingin pulang, aku antar." ujar Romeo beranjak berdiri kemudian ia teringat satu hal. Romeo pun melepaskan mantelnya yang berwarna hitam dan memang cukup panjang.
"Kenakan ini." Romeo memberikan mantelnya kepada Rania.
"Terima kasih." Rania tersenyum tipis.
Romeo menghela napas dan meninggalkan Rania seorang diri di dalam ruangan. Rania segera bangun mengenakan mantel tersebut ke tubuhnya dan ternyata mantel Romeo menutupi tubuhnya hingga ke bawah lutut dan sangat kebesaran.
Romeo menoleh ke belakang saat Rania membuka pintu kamar, "Ayo." Romeo berjalan lebih dulu dengan langkah lebar di ikuti Rania yang melangkah perlahan dengan wajah meringis sambil membawa kantung berisi makanan yang Romeo berikan.
Romeo sudah sampai di depan lift dan baru menyadari bahwa Rania jauh tertinggal. Rania terlihat sulit untuk berjalan dengan langkah yang dia ambil.
Rania menggigit pelan bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit di kakinya karena berlari tanpa alas kaki tadi malam, menyebabkan kakinya terluka lalu ia tersentak kaget saat Romeo tiba-tiba datang dan membawanya ke dalam gendongan pria itu.
"Jika butuh bantuan kamu harus membiasakan diri untuk berkata tolong saya!" sindir Romeo sarkastik.
Rania terdiam dengan wajah merah padam karena malu dan kaget atas tindakan Romeo, "Sa-saya bisa sendiri." katanya pelan tidak Romeo tanggapi.
oOo
Rania telah sampai dengan selamat di apartemennya di antar dan di gendong oleh Romeo tanpa bisa ia tolak karena pria itu menulikan telinganya bahkan dengan lancang Romeo masuk dan duduk di ruang tamu kecil apartemen miliknya yang menyatu dengan ruang bersantai.
Rania memasuki kamarnya dan tak lupa ia kunci. Rania membersihkan dirinya kemudian mengenakan gamis serta khimar dan cadar miliknya kemudian keluar dari kamar menemui Romeo yang masih duduk santai sambil memainkan ponselnya.
Romeo melirik kedatangan Rania dan ia pun kaget melihat penampilan Rania yang sangat tertutup, Romeo mengubah posisi duduknya agar lebih sopan apalagi kini gadis itu sudah duduk di hadapannya sambil membawakan segelas air putih untuknya.
"Tuan, terima kasih sudah menolong saya dan ini sedikit uang yang saya miliki untuk mengganti uang anda yang terpakai untuk biaya saya di rumah sakit." Rania menyerahkan kartu ATM nya kepada Romeo yang hanya melirik dengan ekspresi datar. Ternyata biaya rumah sakitnya cukup mahal dan jika di hitung cukup untuk makan mewah selama setengah tahun.
"Saya tulus membantu kamu, tidak perlu kamu ganti." ujar Romeo.
"Terima kasih." Rania menundukan kepalanya sejenak.
"Jadi bagaimana kamu akan membawa masalah ini ke jalur hukum?" tanya Romeo.
"Ah iya, saya lupa. Saya akan menghubungi keluarga saya lebih dulu." Rania mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor ponsel ibunya.
"Hallo ibu?"
Rania tersenyum mendengar suara ibunya, "Assalamu'alaikum, bu. Ibu, Rania ingin memberikan kabar buruk, Rania ... Teman satu apartemen Rania menjebak Rania, bu." Rania hampir menangis saat mengatakannya.
"Iya ibu, Sinta meminjam uang kemudian mengatas namakan Rania untuk membayar semua hutangnya. Rania ingin membawa masalah ini ke jalur hukum, Rania hampir di jual oleh Mafia disini."
"Apa kamu gila Rania?! Ayah dan ibu sudah melarang kamu untuk kuliah ke luar negerikan? dan inilah dampaknya kalau kamu tidak mendengarkan perkataan orang tuamu sendiri! Kamu pikir ayah dan ibu punya uang untuk bantu kamu apalagi kamu bilang apa? Mafia?! Kamu gila! Sekarang kamu pulang saja dan menikah dengan Pak Mahmud sana!" ujar ibu Rania di telpon dengan nada membentak dan Romeo mengerti semuanya tapi dia pura-pura tidak tahu.
"Tapi ibu ini impian Rania, dengan Rania kuliah di luar negeri dan punya pekerjaan yang bagus, Rania bisa membanggakan ayah dan ibu!"
"Percuma Rania! Percuma kamu kuliah tinggi-tinggi nanti juga bakal nikah, masih balik ke dapur, sumur sama ranjang!"
"Ibu! Sebaik-baiknya seorang wanita adalah wanita yang berpendidikan dan berilmu agar melahirkan anak-anak yang cerdas berakhlak mulia sehingga menjadi generasi muslim yang baik untuk masa depan nanti, dan dengan berpendidikan Rania bisa menjadi istri yang cerdas dan mampu menjadi penyejuk hati suaminya dalam segala kondisi!" balas Rania dengan air mata mengalir.
"Oh maafkan ibu Rania, ibu bukan wanita yang berpendidikan dan berilmu seperti kamu!"
Dan sambungan telpon terputus. Rania terisak pelan dan pada akhirnya ia menangis tanpa peduli jika Romeo masih duduk di hadapannya dan memperhatikanya. Mereka duduk bersebrangan dan hanya terpisahkan oleh meja kayu berukuran sedang.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mafia Flowers
RomansaRania, seorang gadis muslimah berasal dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Italia, tidak menyangka jika dia di khianati oleh temannya sendiri. Rania harus menggantikan posisi Sinta sebagai pelunas hutang dengan cara di jual kepad...