7. Bolos (#2)

32 12 4
                                    

Happy Reading!

Wanita paruh baya yang menggunakan celana hitam panjang juga baju batik, memasuki kelas 11 IPA 2. Namanya Bu Retno. Guru yang jarang sekali berinteraksi dengan muridnya. Sekali berinteraksi, hanya untuk memberikan suatu hukuman.

Pandangannya beredar sembari meng-absen murid-murid yang datang pagi itu. Satu per satu namanya beliau beri tanda ceklis untuk yang datang hari ini, dan hanya di kosongkan untuk yang tidak hadir.

"Nathalia Bulan Sabilla?" panggil Bu Retno memandang ke seluruh penjuru kelas setelah membaca nama Alia di kertas absensi yang beliau pegang. Mata beliau meneliti kembali untuk mencari keberadaan Alia. Namun nihil, sama sekali tak mendapatkannya.

Seluruh murid saling beredar pandang. Mereka pun tidak tau keberadaan Alia dimana. Cika berdiri dari duduknya. "Alia bolos bersama Kak Angga, Bu."

Sontak seisi kelas menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Hana. Hana mengerutkan dahinya. Ia pun juga berdiri, yang membuat seluruh murid di kelas itu mengalihkan pandangannya dari Cika ke arah Hana. "Alia sakit, Bu." Hana berusaha membela temannya itu. Ia tentu tidak ingin temannya masuk ke ruang BK besok pagi. Padahal, jelas sangat terlihat luka yang ada di sudut bibir Alia.

Cika menatap Hana kemudian berkata, "Bohong! Dia nggak sakit." Hana tau, ia pasti akan kalah jika berhadapan dengan gadis itu.

Bu Retno menundukkan kepalanya dan menuliskan tanda 'B' di sebelah nama Alia. "Sudah, sudah. Besok biar Bu Retno panggil Alia dan Angga." Bu Retno berjalan menuju meja guru dan menaruh kertas absensi di atas meja. "Kalian, silahkan duduk!" perintah Bu Retno kepada Hana dan Cika yang sesekali masih saling melontarkan tatapan sinis.

Tentu saja, Cika sangat senang jika Alia akan masuk Badan Konseling. Dirinya merasa menang untuk saat ini. Tersenyum penuh kemenangan, itulah yang dilakukan oleh Cika di sepanjang pelajaran. 

∆∆∆

Alia mendongakkan sedikit kepalanya untuk menatap Angga. "Jadi, apa alasan kita untuk bolos hari ini?" tanya Alia yang sedikit penasaran.

Angga menoleh ke arah Alia, "Nggak ada apa-apa. Gue cuma ingin jalan berdua," ucap Angga santai tanpa beban. Rasanya senang sekali bisa mengelabui Alia untuk membolos bersamanya.

Alia terkejut, "Kalau aku tau alasan kamu nggak masuk akal gini, ya lebih baik aku ikut pelajaran tadi!" protes Alia. Kesal rasanya ketika Angga hanya mempermainkan Alia. Tangannya mengeram keras di ujung tasnya yang berwarna hijau tosca.

"Silahkan saja jika mau masuk kembali."

Alia menatap gerbang itu. Nyalinya menciut. Ia tau jika kembali masuk ke sekolah itu akan berujung maut. Tapi jika tidak, ia akan berjalan bersama lelaki itu. Mau tidak mau, Alia harus menuruti Angga saat ini. Lagian, Angga juga bukan monster jahat.

"Alia, lo sadar nggak sih?"

Alia menaikkan alisnya tanda tak tahu.

"Lo sudah di tindas. Gue nggak pernah membenarkan perilaku Cika. Tapi gue sendiri nggak bisa nyegah."

"Kenapa?"

"Cika murid kepercayaan guru. Rumornya, Cika adalah anak angkat kepala sekolah. Jadi, tau sendiri dia diperlakukan bagaimana,

"Besok, kita akan dipanggil. Gue, dan lo, akan masuk BK bersama karena hari ini bolos sekolah. Biar lo nggak sendiri juga. Kalau nggak pakai cara gini, lo akan terus ditindas. Percaya sama gue. Dengan kita ngelakuin ini, Cika akan merasa puas atas apa yang dia perbuat," lanjut Angga.

Diam keduanya. Alia tahu bagaimanapun ia mengadu, hak adil akan tetap milik Cika.

"Aku nggak tahu, apa penyebab dia benci sama aku. Apa semua orang juga benci sama aku ya, Ngga?"

"Gue nggak benci sama lo, Al."

Alia menatap Angga lekat. Ia membalikkan badannya berjalan mendahului Angga. Mulutnya bergumam, "Semua orang juga bakal benci kalo tau gue sebenarnya."

"Lo ngomong, Al? Yang keras dong gue nggak kedengeran!" seru Angga yang masih belum menyusul Alia.

Langkah Alia terhenti. Ia membalikkan badannya. "Jadi jalan atau mau jadi patung?"

Angga terdiam cukup lama. Ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor sahabatnya.

"Bawa pulang motor gue."

"Lo sekarang di--"

Tutt.. tutt..

Angga segera mematikan telepon itu tanpa menunggu Sam selesai bertanya. Ia memasukkan teleponnya lalu menyusul Alia yang dari tadi sudah mematung.

Mereka jalan bersama. Kadang berdampingan dan kadang Alia jalan mendahului. Ia tak mau berjalan sejajar dengan lelaki itu. Rasa sebal nya masih menjalar di seluruh tubuh. Tapi, jika ia besok pagi harus masuk BK, benar yang di katakan Angga, setidaknya dia punya teman.

Karena Alia tak tau akan kemana, Angga mengambil posisi di depan Alia, dan Alia mengikuti dari belakang. Sesekali matanya melihat sosok Angga. Tidak ada tampang jahat jika di lihat dari belakang.

Mereka sampai di dekat jalan raya. Alia benar-benar takut untuk menyebrang. Entah mengapa, ia tak suka jalan raya.

"Kalau kamu mau ngajak aku untuk ke seberang sana. Aku nggak mau. Kamu bisa kesana sendiri."

"Nggak, yang butuh itu lo."

"Butuh apa?"

"Ya ada nanti."

Angga melihat wajah Alia yang jelas sangat ketakutan. Ia menggenggam jemari tangan Alia. Alia sangat terkejut. Hatinya merasakan sedikit sesuatu yang menggetarkan. Tidak, ia tidak bisa mengakui bahwa hari ini Angga sangat baik-- tidak lagi menyebalkan.

"Ada gue."

Suatu pertanyaan muncul di otak Alia. "Nanti kalau kita ketabrak gimana?"

"Kita akan mati bersama dan hidup di surga bagaikan adam dan hawa."

"Dan kita akan berpisah seperti adam dan hawa?"

"Kita nggak akan berpisah kalau lo nggak makan buah kuldi."

Alia sedikit memunculkan senyuman di salah satu sudut bibirnya. Mungkin, akhir-akhir ini Alia merasa ada yang mengisi hari nya. Ia merasa, bahwa akan ada cerita di dalam cerita.

****

Ikatan SemataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang