Alia mulai memasuki rumahnya. Pintunya sudah terbuka— entah dari kapan. Terdapat tiga manusia di dalamnya yang sedang menonton televisi. Roy, Laras— Mama Alia, dan satu gadis berambut se-lengan. Tawa bahagia menggelegar di seluruh ruangan.
Langkah kakinya sangat keras yang menyebabkan ketiganya menoleh. Terkejut pastinya ketika gadis remaja yang menoleh adalah Cika. Satu manusia yang membuat masalah dengan Alia pertama kali. Heran, mengapa Roy justru membawa pulang gadis sialan itu?
"Sudah pulang, Al?" tanya Laras yang bangun dari duduknya terlebih dahulu.
Alia terdiam. Tidak berniat menjawab.
Ketiganya mulai mendekati Alia. Roy memegang pundak Cika, lalu membawanya lebih dekat dengan Cika. "Perkenalkan, ini anak saya."
Alia diam sebentar. Tidak ingin ber-ekspresi berlebihan. Pantas saja Roy tidak marah sama sekali. Pantas juga ketika tadi siang bercanda tawa dengan Cika. Ternyata Cika adalah putrinya sendiri. Sangat, sangat tidak menyangka.
Cika mengulurkan tangannya. "Gue Cika," ucapnya diikuti senyum sinis. "Lengkapnya Cika Anastasya."
Alia terdiam sebentar memandangi tangan gadis di depannya yang menggantung, kemudian menjabat tangan Cika. "Alia."
Dengan cepat, mereka saling melepaskan satu sama lain. Tatapannya yang tak lepas membuat mata mereka seperti ingin bertengkar.
"Mulai sekarang, kalian akan tidur satu kamar."
Cika tersenyum sinis, sedangkan Alia tak menghiraukan. Ia berjalan santai menuju kamarnya.
"Nggak tahu sopan-santun!" bentak Roy yang tidak mendapat balasan sama sekali dari Alia.
"Cika ke kamar duluan, Yah." Ia berjalan menuju kamar yang sudah Alia tempati terlebih dahulu.
Cika melemparkan selimut tebal dan juga bantal ke arah lantai. "Lo, tidur di bawah!"
Alia tidak membantah sama sekali. Ia menata selimut dan bantal tersebut, lalu keluar untuk mandi. Sikap Alia membuat Cika heran. Mengapa justru Alia tidak marah sama sekali? Padahal tujuan utama Cika datang ke rumah itu hanya ingin Alia marah. Entah karena alasan apapun.
Cika berjalan menuju pigura yang terpampang jelas. Tangannya menggeram erat di ujung bingkai. Tatapan matanya berubah mematikan. Ia segera membantingnya, lalu diinjak. Berharap foto itu akan rusak sejadi-jadinya. Dengan sangat yakin, kali ini Alia pasti akan marah padanya.
Tak lama, Alia datang dengan rambut yang masih diikat ke atas menggunakan jepitan. Tatapannya terhenti di kepingan kaca yang pecah. Ia berdiri sebentar. Tatapan yang diberikan oleh Alia, membuat Cika mengernyitkan dahi. Tidak terbaca sama sekali.
"Ayo dong, marah. Foto keluarga kesayangan lo udah gue hancurin. Mata gue sakit ngeliatnya."
Alia memandangi Cika sebentar. Langkahnya terhenti di kepingan kaca. Ia berjongkok membersihkan semuanya, lalu di buang ke tempat sampah yang berada di bawah kolong meja belajar. Menurutnya saja, mau ada foto itu ataupun tidak, sangat tidak memengaruhi hidupnya. Benar, foto itu juga membuat mata Alia sakit sebenarnya. Mengingat masa lalu yang pernah ia lakukan.
Alia kembali dengan perasaan biasa saja. Ia segera membaringkan tubuhnya di atas selimut yang justru ia gunakan sebagai alas.
Cika mengernyitkan dahinya. "Kok dia nggak marah, sih?" gumamnya.
∆∆∆
Hari Minggu kali ini, Alia bangun lebih awal. Ia turun ke bawah, melihat Laras yang memasak berbagai makanan kesukaannya di dapur. Alia menyusulnya. Meneliti setiap hidangan yang ada, karena ini juga hal yang jarang dilakukan oleh Laras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikatan Semata
Teen FictionSulit sekali menggambarkan sosok Nathalia Bulan Sabilla. Seorang gadis memiliki seribu rahasia yang tidak akan terungkap begitu saja. Sifatnya dibuat sangat berbeda ketika memasuki Sekolah Menengah Atas. Pendiam, seolah tidak pernah melakukan kesala...