Puncak dari Bahagia (3)

30 24 0
                                    

" ini makanan" tangan laki-laki itu berusaha keras melewati sebuah lubang besar dengan duri besi disekitarnya dengan membawa dua plastik berisi makanan. Mulutnya berusaha keras menggigit lidahnya dengan keras,menghalau rasa perih saat duri besi itu menggores tiap kulit yang menyelimuti tulang tangannya. Tidak ada yang harus dia keluhkan sekarang,kecuali berhasil memberi penghuni di dalamnya makanan sehat. Namun beberapa waktu yang lalu, kakaknya berhasil mengetahui perbuatannya,menghukumnya lagi dengan memukulnya menggunakan besi panas di punggung dan membuang berbagai alat yang biasa dia gunakan untuk memberi penghuni di dalamnya apapun yang berasal dari luar. Dia menghebuskan nafasnya keras, satu satunya cara dia memberikan penghuni didalamnya makanan hanya dengan tangan yang dia miliki. Dan dia harus kuat menahan rasa sakit itu. Orang didalam sana membutuhkan bantuannya.

Laki-laki itu kini menjatuhkan tubuhnya,memperdalam tangannya memasuki lubang berduri tersebut. Memejamkan mata yang kini sudah berair karena goresan duri besi yang kini sudah bersentuhan dengam lengannya. Sedikit lagi,saat dua kantong yang dia bawa kini sudah terangkat naik. Dia tersenyum lega. Berhasil.

"Makanlah,akan aku kirimkan buah setelah ini" Bani tersenyum lembut,berusaha meredam rasa senang saat sekelebat bayangan terlihat didalamnya. Melihat bayangan nya saja,membuat jantungnya bergetar.

"Kamu harus kuat,harus tetap makan. Tidurlah yang nyenyak" pesannya. Tidak ada balasan dari dalam,namun melihat bayangan cantik yang Bani tangkap,membuatnya kian bersemangat mengucapkan apapun yang ada dipikirannya.

"Aku akan kesini lagi. Untuk membawakan kamu pelajaran yang aku pelajari. Aku akan mengajarkan kamu banyak hal. Makanlah,tetap sehat Valentine" bahkan dihari berikutnya,Bani tetap melakukan hal yang sama berulang,meskipun perempuan di dalam sana tidak memberikan respon apapun.

++++++++++++

"Sudah kubilang,menjauhlah dari gudang disana!" vas kaca yang ada disekitarnya kini melayang,mengenai pipi Bani dengan tepat. Darah segar kini mengalir,menyerap diantara kemeja putih seragam sekolahnya. Raut laki-laki itu dingin,menatap amukan kakaknya yang kini dengan mata melebar melempar barangnya ke arah Bani.

"Kamu masih bisa mendengarkan? Biarkan saja dia mati secara perlahan!" Teriakan nyaring kini menggema,dengan tambahan sebuah buku tebal yang kini terlempar di tubuh Bani. Namun Bani tetap bergeming,menatap dingin kakaknya yang semakin gila akibat keserakahannya.

"Berani kamu menatapku seperti itu? Kita keluarga bukan? Apakah kini kamu tidak merasa seperti itu" teriakan itu kini berdengung,menghampiri Bani yang tetap berdiri diam. Tubuhnya sudah kaku,nyeri yang dia alami seminggu yang lalu masih ada dan ditambah dengan hukuman baru yang diciptakan kakaknya.

Ingatannya terpantri pada sosok perempuan di gudang belakang,anak tiri wanita dihadapannya yang sudah dua bulan dia kurung. Pikirannya mendadak buntu,kekhawatirannya kini sudah mencapai batas maksimum. Jika dia saja mendapatkan perilaku seperti ini,bagaimana dengan perempuan itu. Bani mendadak menggigil,tidak. Tidak boleh ada yang menyentuh Valentine sedikitpun. Tidak boleh. Tanpa sadar dia menggeleng perlahan.

"Ada apa dengan reaksimu! Kamu ingin menggantikan anak itu hah? Dasar anak tidak tau balas budi! Kita sudah sampai di puncak kebahagiaan,dan kamu merusaknya. Kau terlalu perhatian dengan anak itu!" kakaknya kini membawa sebuah palu besar,mulai menghampiri Bani dengan langkah lebar. Matanya kini melotot,menatap Bani yang kini berani menatap dirinya dengan tajam. Hatinya mulai terasa panas.

" Kakak..berhenti. hentikan saja. "Jawab Bani akhirnya. Namun jawabannya membuat kakaknya memuncak,menatap nyalang dirinya dengan palu yang terayun ke arah kepalanya.

Bani menoleh ke sebelah kiri tubuhnya,beberapa peralatan kakaknya berserakan di kamarnya. Peralatan untuk menyiksa dirinya ataupun Valentine di rumah ini. Ada pisau besar disana. Air liurnya terasa mencengkram tenggorokannya,menghalau sebuah pikiran buruk yang harus dia lakukan saat ini. Namun saat mengingat seorang perempuan yang kini menunggunya,dia membulatkan tekad. Tangannya perlahan menyambar pisau tersebut,dengan mata tertutup,dia melangkah maju,saat tubuh kakaknya sudah menghampiri dengan palu besar itu. Lalu teriakan kesakitan terdengar memilukan.

Aku, Kamu dan Kita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang