choice.

143 12 1
                                    

note : bagian kedua hurts so good.

warning : suicide mention.

; choice ;

"Eddy menjadi seseorang yang sangat gemar bermabuk - mabukan setelah resmi putus dengan Brett 7 bulan yang lalu. Mereka tidak ada sedetik pun berkontakan. Ray, salah satu teman Eddy, sering mengunjungi Eddy di rumahnya atau bahkan mengantar Eddy pulang setelah meneguk gelas - gelas yang telah terisi alkohol.

Ya, seperti malam ini.

Ray menghelakan nafas, "Sudahlah, apa kau tidak lelah seperti ini hampir setiap malam?!" Omelnya. Eddy menggelengkan kepala, lalu tertawa, namun sesegukan. "Uh, uh, h-hahahahah! Ten-tentu saja, hiks...." 

Ray menopang badan Eddy dengan sangat malas, memasukannya ke kursi penumpang disebelah kursi pengendara. Dia mengendarai mobil dalam kecepatan yang lumayan cepat. Melihat Eddy seperti ini juga menyakiti hati nya, jika boleh jujur. Eddy merupakan teman baiknya, derita yang dia rasakan juga membuat Ray merasakannya.

Sesampainya di rumah Eddy, Ray menopang Eddy, menuntunnya ke kamar berantakan dia. "Malam." Ucap Ray, lalu meninggalkan Eddy yang tertidur dengan mata berair.

Berbeda dengan sisi Brett, dia menjadi kepribadian yang sangat, sangat, sangat pendiam. Bahkan mengucapkan satu kalimat pendek dalam satu hari menjadi hal yang biasa untuknya. Kepribadian Brett yang ceria, manis, dan selalu positif sudah hilang. Tergantikan oleh Brett yang sangat pendiam, dan memiliki aura yang gelap.

Brett tinggal dengan temannya, Hilary, dalam beberapa bulan belakangan. Rumah nya dan Eddy, ia tinggalkan setelah mengemas barang-barang nya dan membayar setengah listrik dan air rumah mereka. Rumah tersebut memiliki banyak sekali kenangan yang ingin Brett lupakan, demi kebaikannya sendiri.

 Mereka menjadi orang yang sangat hancur. Mereka membutuhkan satu sama lain, namun melukai jika bersama. Melupakan kenangan merupakan hal yang paling susah, melepaskan menjadi terlalu berat, dan mendeskripsikan bagaimana hubungan mereka hal terumit yang pernah ada.

; choice ;

Brett yang sedang melamun ditepuk bagian bahu oleh Hilary, "Ayo, aku sudah selesai memasak." Ajaknya, namun Brett tetap memandang keluar jendela yang sedang hujan dengan wajah datarnya, enggan bergerak sedikitpun. Brett menggelengkan kepalanya, membuat Hilary menghelakan nafasnya untuk kesekian kali.

"Brett, ayolah. Kamu harus makan, setidaknya 3 suap. Lihatlah, badan berisi dan pipi chubby mu sudah hilang. Kamu seperti mayat berjalan, tahu? Ayo Brett, ayo, makan." Hilary menggoyangkan pelan badan Brett. Namun, tetap saja. Tak ada reaksi.

Brett membuka mulutnya, "Kenyang." Ucapnya. Hilary menahan air matanya. Sakit melihat kondisi Brett seperti ini. Karena tahu Brett seperti ini karena seseorang, Hilary dengan sigap membawa makanan hangat yang dia sediakan didepan Brett. "Makan. Aku akan pulang segera." Ucapnya.

Hilary membawa kunci mobilnya, lalu menancap gas ke rumah Ray. Sesampai di rumah Ray, Hilary menggedor pintu, dengan tak sabaran. "Ray! Hey, Ray! Buka pintunya! Aku tahu kau didalam!" 

Ray terbangun mendengar suara teriakan yang samar didepan rumahnya. Sebenarnya, dia sudah bangun, namun kembali tidur karena perkerjaannya yang menumpuk. Dengan malas, ia langkahkan kakinya kedepan pintu, membukanya.

"Apa ... Kak Hilary....?" Ray mengerjapkan matanya beberapa kali, Hilary tanpa lama menunggu melangkahkan kakinya kedalam pemain biola yang lebih muda. "Kamu baru bangun? Minumlah air putih, lalu duduk disini. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Hilary mendudukan badannya di meja dapur, melihat ke arah Ray yang sempoyongan.

Mengikuti saran Hilary, Ray meminum segelas air putih dan mendudukan badannya didepan Hilary. "Ada apa?" Tanya Ray, lalu menguap. Hilary menatap mata lelaki yang lebih tinggi, "Ini soal Brett. Aku tak ingin melihatnya seperti ini terus menerus. 7 Bulan merupakan waktu yang sangat lama. Aku tahu Brett mendengar kabar bahwa Eddy menjadi pemabuk. Dan aku tahu orang yang memberitahunya itu kamu. Mengapa?" Ucap Hilary panjang lebar.

Ray mengusap wajahnya kasar. "Aku bertemu dengan Brett beberapa minggu yang lalu. Dia-" "Apa? Bertemu dengan Brett? Jangan menghabiskan waktuku untuk mendengar ocehan tak jelasmu ini. Dia bahkan tidak keluar dari kamarnya berbulan - bulan!" Sela Hilary. "Aku tau maksudmu. Dan aku tidak berniat berbohong sedikitpun kepadamu, Kak. Aku bertemu dengan nya didepan rumah sakit, dia menarik tanganku dan memaksaku memberitahu bagaimana keadaan Eddy." 

Ray melanjutkan kalimatnya, "Brett terlihat marah karena tahu aku berbohong tentang keadaan Eddy. Pada akhirnya aku terpaksa memberitahu kebenarannya." Ujar Ray. Hilary merubah raut wajah menjadi panik, "Simpan kalimatmu, aku pulang dulu." Dengan cepat, Hilary masuk ke dalam mobilnya dan mengebut ke arah rumahnya. 

; choice ;

Sesampainya dirumah setelah perjalanan yang lumayan panjang, Hilary berlari ke kamar Brett. Makanan yang Hilary buat masih belum tersentuh sedikitpun, namun Brett dan barang - barang pribadinya sudah hilang. 

Hilary menoleh ke kanan dan kiri, "BRETT?!" Teriaknya. Hilary mencari ke seluruh ruangan, namun nihil. Brett menghilang. Hilary kembali ke kamar Brett, berharap mendapat jawaban. Terpampang sebuah kertas yang di lipat empat di atas meja Brett. Wanita cantik tersebut membuka kertas dan membacanya.

Tertulis 'Kak. Maaf selama ini aku menyusahkanmu. Aku memutuskan untuk tidak menyusahkanmu dan kembali ke pilihan ku. Terima kasih untuk 7 bulan 19 Hari nya, Kak. Aku menyayangimu. -Brett Yang' di kertas tersebut. Hilary terduduk di lantai, tidak menyangka bahwa Brett benar benar akan mengambil pilihan yang sangat ia benci.

Hilary menelfon Ray, saat tersambung Hilary berbicara dengan pelan. "Aku ... Ray. Brett memilih untuk kembali ke pilihan nya." Lirihnya. Ray mengerti maksud Hilary, dan memutuskan untuk diam dirumah lalu menangis. 

; choice ;

Ada sebuah janji di antara mereka ber-empat. Dimana jika Brett akan pergi secara tiba - tiba, mereka harus menepati janji tidak akan menyarinya ke tempat dimana dia berada. Mereka tak mengerti maksud Brett pada awalnya, pada akhir hubungan Brett dan Eddy, barulah Ray dan Hilary mengerti maksud Brett.

Jika dua orang memang ditakdirkan bersama, mereka mau tak mau menjalani hal yang sangat berat bagi mereka. Hubungan memang serumit itu, dan mereka tidak bisa menyangkal bahwa hal yang menyakitkan tersebut menyenangkan untuk mereka. 

; choice ;

Hilary menghidupkan TV sambil memakan sarapan dengan Ray di rumahnya. Ray berkunjung untuk main sebentar, dan menumpang makan. Ray mengunyah pancake yang di masak Hilary dengan cepat, "Ugh, sangat enak." Ujarnya.

Hilary terkekeh, lalu melihat ke arah TV yang menampilkan berita. '...diketahui 1 minggu yang lalu 2 mayat laki - laki ini meninggal ditempat sambil berpelukan. Motif dari kematian 2 laki - laki berinisal BY dan EC masih belum diketahui. Kami akan kembali untuk menampilkan berita selanjutnya.' 

Mendengar kalimat sang reporter dari TV membuat Hilary meneteskan air mata nya, begitu pula dengan Ray. Mereka menunduk, terdiam mengetahui hal yang sangat tak ingin mereka dengar. Hilary berbicara sambil sesegukan, "Pilihan..." Ucapnya.

Ya, itu pilihan Brett yang tak akan pernah ia sesali.

Bersama orang yang ia cintai saat merengut nyawanya sendiri.

Selesai. Sekarang kamu tidur, gih." Ucap Edward kepada kekasihnya. "Ish, Edward! Apa yang terjadi selanjutnya?!" Protes kekasihnya. Edward mencubit pelan pipi Brettany, kekasihnya. "Selanjutnya, kamu tidur. Okay? Sudah malam, sayang." Ucap Edward.

Brett mengangguk pelan, "Tapi peluk, ya?" Brett memeluk perut Edward. Edward terkekeh, "Iya, sayang. Good night, Brettany." "Good night too, Edward."

selesai beneran.

tsv oneshots.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang