"Kok cepet banget sih, njing!" teriak Zaher lantang, memecah suasana di tengah kerumunan yang ramai. Suara lantangnya melayang di udara, membuat semua orang di sekitar menoleh.
Plak!
Rafian menepuk bahu Zaher dengan keras, matanya penuh peringatan. "Suara lo kecilin dikit, diliatin orang-orang" ucapnya pelan namun tegas. Zaher yang tersadar langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Seketika ia melirik sekeliling, menyadari beberapa pasang mata sedang memandanginya dengan tatapan heran. Wajahnya memerah, senyum kecut terukir di bibirnya, seolah ingin menutupi rasa malu yang mulai membuncah di dadanya.
"Takdir" gumamnya pelan sambil mengalihkan pandangan ke arah Catur yang kini berdiri memegang koper hitam di tangannya. Koper itu adalah milik Catur, yang hari ini harus berangkat ke United Kingdom untuk mengurus berkas di kampus barunya. Setiap orang merasa berat untuk melepasnya, tapi tidak ada yang bisa mengubah keputusan Catur.
Di sudut lain, Efraim menghela napas panjang, ekspresinya tiba-tiba berubah sendu. "Gue sedih banget" katanya dengan suara lemah, menambah dramatisasi di tengah situasi yang sudah cukup ramai. Ucapannya langsung mengundang perhatian semua orang.
"Lebay amat!" sahut Shabian sambil menjitak kepala Efraim dengan cengiran lebar di wajahnya. Efraim meringis, mengusap kepalanya yang kini berdenyut kesakitan.
"Bangsat, sakit tahu!" gerutu Efraim kesal, sementara matanya melotot memandang Shabian, penuh protes.
Di tengah kericuhan kecil itu, Izar tiba-tiba berkomentar sembarangan, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang dianggapnya penting. "Wah, Tur, gue rasa semenjak Shabian nganterin Alicia, dia demen nih" celetuknya ringan, namun cukup untuk membuat semua orang terdiam dan menoleh.
Shabian yang tadinya tampak santai, kini terkejut. Wajahnya memerah, kali ini bukan karena malu, melainkan marah. Ia meninju lengan Izar dengan keras, hingga bunyinya terdengar jelas, mengundang keheningan sejenak. "Bangsat! Lo ngaco aja!" serunya dengan suara lantang, tak bisa menyembunyikan rasa tak terimanya. Tatapannya tajam, sementara yang lain mulai tertawa melihat reaksinya yang berlebihan. "Gue cuma cinta sama ayang beb gue " lanjutnya dengan nada serius, mencoba menyelamatkan harga dirinya yang hampir runtuh di depan teman-temannya.
"Bucin" Rafian berkomentar santai, melemparkan ejekan tanpa beban.
Shabian mendengus kesal. "Ye, lo juga!" balasnya cepat, berharap bisa membalikkan keadaan, meskipun ia tahu itu tak akan banyak membantu.
Suasana di antara mereka perlahan mereda, tertawa menggema di udara, namun kemudian keheningan mengambil alih, menciptakan jeda yang aneh dan tak nyaman. Mata keenam lelaki itu mulai berpaling satu sama lain, saling menghindar dari tatapan yang terasa terlalu lama.
Di tengah keheningan itu, Catur melirik jam di pergelangan tangannya. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Alicia, gadis yang dinantikannya, tak kunjung muncul. Kekecewaan mulai menyelinap di hatinya, membanjiri ruang yang seharusnya diisi dengan harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATUR [Republished]
Teen Fiction[disclaimer; harsh words | please be a smart and wise reader, don't take it to real life.] Seorang lelaki berwajah tampan, memiliki rahang tegas, hidung mancung, dan mata tajam. Catur Kstaria Hamizan, bagi Catur menjadi pusat perhatian sudah biasa b...